Saya pernah membaca suatu artikel yang membicarakan tentang
esensi dari sebuah travelling. Disitu penulis membagi traveller menjadi dua
jenis, berpanduan dan tanpa panduan. Penulis lebih menyoroti tentang traveller
tanpa panduan yang memang bertujuan mencari kepuasan batin dengan cara
get-lost. Saya tak bisa memungkiri jika get-lost adalah cara berpetualang yang
paling menyenangkan. Cara travelling yang demikian menuntut anda untuk lebih
sering berkontraksi dengan penduduk sekitar dan akhirnya akan lebih mengetahui
tentang adat dan budaya daerah tersebut. Menilik dari hal itu, menurut saya
get-lost adalah cara travelling untuk
traveller tingkat lanjut.
Karena merasa masih amatir dalam hal travelling, maka
sementara ini saya lebih banyak memilih untuk berpetualang dengan berpegang
pada buku panduan. Mampatnya dunia dengan adanya Google membuat berpetualang
menjadi hal yang mudah, tinggal ketikkan destinasi pada mesin pencari maka anda
bisa segera membuat buku panduan sendiri. Dari artikel tentang akses perjalanan,
cost-total, penginapan hingga cerita-cerita aneh di destinasi tersebut dapat
anda temukan dan rangkum sesuai kebutuhan pribadi.
Pada akhirnya, menurut saya, yang paling berpengaruh pada
travelling anda adalah partner. Travelling bertujuan membangun kembali mood
anda dan partner-trip berperan besar dalam hal tersebut. Para traveller pasti
setuju jika saya mengatakan bahwa esensi paling besar dari travelling adalah
perjalanannya. Dinamika perjalanan menuju tempat tujuan wisata tersebutlah yang
kebanyakan memunculkan kesan. Dan kembali, partner-trip memiliki peran penting
disini. Perbincangan, candaan, serta menyatukan pikiran adalah puzzle-puzzle
yang nantinya akan dirangkum dengan pemaknaan kejadian sehingga menjadikan
suatu perjalanan tersebut berkesan.
Kebetulan beberapa waktu yang lalu saya melakukan perjalanan
ke sebuah destinasi dengan partner trip yang tepat. Sudah cukup lama saya ingin
menuju ke tempat bernama Ketep, gardu pandang di daerah antara magelang dan
boyolali. Dari tempat tersebut katanya anda bisa melihat pemandangan gunung
merapi dan sekitarnya yang bisa membuat pikiran menjadi fresh dan siap
menjalani rutinitas kembali keesokan hari. Setelah merangkum info dari teman
dan mesin pencari, saya memutuskan untuk melewati jalur Kopeng. Dari Semarang
sebetulnya ada tiga jalur yang bisa ditempuh. Pertama melalui Boyolali, kedua
melalui Magelang dan yang terakhir melewati Kopeng. Saya menjatuhkan pilihan
pada jalur terakhir karena beberapa pertimbangan. Pertama karena merupakan
jalur tersingkat dari Semarang, kedua jalur tersebut adalah yang termudah jika
dibanding yang lain dan yang terakhir karena saya rasa pemandangannya lebih
bagus jika lewat Kopeng.
Berangkat dari Semarang pukul setengah tujuh pagi, kami
mengisi perut dulu di kawasan Undip Tembalang. Kuah asin dari bubur ayam
jakarta menjadi moodbooster yang tepat di pagi hari yang masih terasa dingin.
Di hari sabtu seperti ini jalanan kebanyakan dipenuhi mobil-mobil yang
nampaknya berisi orang-orang yang ingin memanfaatkan quality-time sebaik
mungkin dengan keluarga tercintanya. Sesuai saran dari beberapa artikel, mesin,
rantai, ban dan rem sudah disetting dengan kondisi terbaik, sehingga dapat saya
dapat memacu kendaraan dengan sedikit cepat agar dapat tiba di tempat tujuan
sesuai dengan waktu yang diperkirakan. Sampai di kota Salatiga, kami belok ke
kanan di pertigaan lampu merah pertama, menuju arah Kopeng. Setelah melewati
jalur lingkar Salatiga, jalan raya kecil yang dipenuhi pepohonan di kanan kiri khas
jalur pegunung an mulai terlihat.
Setelah sekitar satu jam perjalanan akhirnya kami sampai di
daerah Kopeng. Bisa dibilang Kopeng adalah Bandungan-nya Salatiga. Anda akan
mendapati kombinasi dari hawa dingin, pemandangan hijau sepanjang jalan, kota
Salatiga yang terlihat mengecil dalam pandangan mata dan hotel-hotel kelas
melati. Ingin rasanya berhenti sebentar, menatap kota yang terasa jauh dibawah
sana dan menyeruput kopi pagi, tapi Ketep masih menjadi prioritas utama.
Setelah Kopeng, kami melewati jalan berliku dan naik turun
dengan pemandangan yang lebih menakjubkan. Kebun-kebun dengan pohon kecil di
kiri dan jurang di kanan serta pick-up yang mengangkut hasil-hasil kebun
sekitar menjadi tontonan yang berulang selama sekitar 10 menit. Kebanyakan
rumah di pinggir jalan memiliki kebun disampingnya. Puncaknya kami melewati
tempat yang sepertinya paling tinggi di daerah tersebut. Saya memutuskan untuk
berhenti di sebuah warung dan membeli rokok serta minuman. Kami takjub dengan
pemandangan di belakang dan di depan. Jika biasanya awan dapat dilihat jika
mendongak keatas, disini kami bisa melihat awan dengan menunduk menatap daerah
dibawah yang sudah kami lewati tadi.
Setelah berjalan lagi sekitar 20 menit, kami mulai memasuki
wilayah dengan jalur lebih ekstrim. Saya mulai mengurangi kecepatan karena
jalan naik turun berkelok dan berlubang serta jurang di pinggiran menjadi hal
yang sering ditemui. Tapi perjalanan berbuah manis. Ketika memutuskan berhenti
sebentar untuk menyalakan rokok dan menanyakan jalur kepada petani sekitar,
kami menemukan sesuatu yang menakjubkan. “WOW, itu nirwana bukan sih?”, ujar
partner-trip saya sambil geleng-geleng melihat gunung yang menjulang gagah dan
berselimut awan tepat didepan kami. Saya ikut terkagum menatap sebuah gunung
yang angkuh namun mengayomi. Oh ya, sedikit hal aneh yang saya temukan adalah
warga sekitar disini terdengar sangat kaku jika menggunakan bahasa Indonesia,
mereka lebih lancar berbicara dengan bahasa kromo Jawa.
Ternyata Ketep tak jauh dari situ, kami akhirnya tiba
setelah menempuh hampir dua jam perjalanan. Belum banyak yang tiba di tempat
ini. Setelah membayar tiket masuk yang terbilang murah, kami memarkirkan motor
dan melihat-lihat sekitar, beberapa pedagang dari warung lesehan kecil di bawah
berteriak menawari kopi dan jagung bakar. Saya tertarik dengan kopinya, teman
saya tergoda dengan jagung bakarnya, tapi kami memutuskan untuk mengkhatamkan
tempat ini dahulu.
Kami melewati pintu masuk bangunan di tengah, disitu
tertulis museum vulkanologi. Rekam jejak gunung merapi yang meletus dari waktu
ke waktu terpampang dalam foto-foto menakjubkan yang ditempel di dinding. Dari
beberapa foto tersebut saya jadi bisa menyimpulkan betapa mengerikannya amukan
wedus gembel yang membuat pepohonan hijau menjadi gersang dan berasap. Kita
juga dapat menemukan artefak-artefak bebatuan yang diletakkan di kotak kaca.
Beberapa diantaranya sudah tak ada tutup kaca dan batuan didalamnya juga
hilang. Saya menyimpulkan mungkin akibat aksi vandalisme pengunjung yang tak
bertanggung jawab, karena petugas hanya terlihat di pintu masuk dan beberapa
tempat-tempat tertentu.
Pusat museum tersebut berada di tengah, dimana ada sebuah
miniatur gunung merapi yang berdiameter sekitar 4 hingga 5 meter lengkap dengan
jalur-jalur lava buatan dan alami. Setelah merasa cukup, kami berjalan keatas,
menuju tempat teratas yang merupakan jalur tembus untuk gardu pandang diatas.
Sebuah tempat lapang yang nampaknya merupakan landasan helikopter karena ada
tanda silang besar berwarna putih ditengah-tengahnya. Beberapa spot-spot yang bagus
sudah ditempati oleh pasangan muda-mudi. Kami akhirnya menemukan sebuah tempat
yang masih kosong, gardu pandang dengan sebuah kursi panjang untuk melihat
pemandangan di depan yang menakjubkan. Pemandangan melenakan serupa sepanjang
perjalanan tadi telah tersaji di depan mata, bedanya kali ini kami bisa
menikmatinya dengan duduk tenang dan fokus, saya juga dapat menghisap rokok
dalam-dalam, dan percayalah, rasanya lebih nikmat ketimbang biasanya. Kami
duduk dan berbincang, membicarakan betapa sepadannya perjalanan jauh yang sudah
kami jalani, sedikit berdebat tentang citra yang kami tangkap melalui sudut
pandang masing-masing. Kemudian sepakat bahwa pemandangan gunung berselimut
awan didepan kami serta vegetasi yang berbaris rapi dibawahnya merupakan sebuah
kombinasi yang memanjakan mata. Kami lalu mendapati bahwa setelah mata
menangkap citra surgawi yang menakjubkan serta dipadu dengan perjalanan yang
menyenangkan maka ketenangan pikiran adalah hasil akhirnya.
Setelah puas, kami menuju rumah makan yang berada di tempat
tersebut. Rumah makan itu didesain dengan banyak jendela kaca besar, membuat
pengunjung tetap leluasa menikmati pemandangan yang menjadi nilai jual lebih
tinggi dibanding makanannya. Secangkir kopi hitam nikmat dan teh panas telah
mengepul di depan kami. Perbincangan ringan terasa mengalir setelah otak anda
dipuaskan dengan visual-visual yang menenangkan.
Sekitar tengah hari kami memutuskan untuk pulang. Meskipun
matahari terlihat, tapi suasana dingin tetap menggigit. Di tengah jalan, hujan
turun dengan deras. Berbalut jas hujan, berkendara perlahan di tengah deras di
tempat seperti ini terasa berbeda dan lebih menyenangkan. Saya jadi teringat
sebuah kutipan dari Rowan Atkinson, “I love walking in the rain, cause no one
can see me crying”. Tapi kali ini untuk saya kutipan yang paling tepat mungkin
“I love driving in the mountain, cause i can see everyone’s smiling”..
0 komentar:
Posting Komentar