Menata-mata Kick My Web!
Menata-mata. Diberdayakan oleh Blogger.

About me

Foto Saya
ollay
hallo, mari bangun, dan menata mata..
Lihat profil lengkapku

Blog

Jumat, 06 Juli 2012

Ketep: Get Lost, Drive Thru The Mountain and Everyone's Smiling.

Saya pernah membaca suatu artikel yang membicarakan tentang esensi dari sebuah travelling. Disitu penulis membagi traveller menjadi dua jenis, berpanduan dan tanpa panduan. Penulis lebih menyoroti tentang traveller tanpa panduan yang memang bertujuan mencari kepuasan batin dengan cara get-lost. Saya tak bisa memungkiri jika get-lost adalah cara berpetualang yang paling menyenangkan. Cara travelling yang demikian menuntut anda untuk lebih sering berkontraksi dengan penduduk sekitar dan akhirnya akan lebih mengetahui tentang adat dan budaya daerah tersebut. Menilik dari hal itu, menurut saya get-lost adalah  cara travelling untuk traveller tingkat lanjut.
Karena merasa masih amatir dalam hal travelling, maka sementara ini saya lebih banyak memilih untuk berpetualang dengan berpegang pada buku panduan. Mampatnya dunia dengan adanya Google membuat berpetualang menjadi hal yang mudah, tinggal ketikkan destinasi pada mesin pencari maka anda bisa segera membuat buku panduan sendiri. Dari artikel tentang akses perjalanan, cost-total, penginapan hingga cerita-cerita aneh di destinasi tersebut dapat anda temukan dan rangkum sesuai kebutuhan pribadi.
Pada akhirnya, menurut saya, yang paling berpengaruh pada travelling anda adalah partner. Travelling bertujuan membangun kembali mood anda dan partner-trip berperan besar dalam hal tersebut. Para traveller pasti setuju jika saya mengatakan bahwa esensi paling besar dari travelling adalah perjalanannya. Dinamika perjalanan menuju tempat tujuan wisata tersebutlah yang kebanyakan memunculkan kesan. Dan kembali, partner-trip memiliki peran penting disini. Perbincangan, candaan, serta menyatukan pikiran adalah puzzle-puzzle yang nantinya akan dirangkum dengan pemaknaan kejadian sehingga menjadikan suatu perjalanan tersebut berkesan.
Kebetulan beberapa waktu yang lalu saya melakukan perjalanan ke sebuah destinasi dengan partner trip yang tepat. Sudah cukup lama saya ingin menuju ke tempat bernama Ketep, gardu pandang di daerah antara magelang dan boyolali. Dari tempat tersebut katanya anda bisa melihat pemandangan gunung merapi dan sekitarnya yang bisa membuat pikiran menjadi fresh dan siap menjalani rutinitas kembali keesokan hari. Setelah merangkum info dari teman dan mesin pencari, saya memutuskan untuk melewati jalur Kopeng. Dari Semarang sebetulnya ada tiga jalur yang bisa ditempuh. Pertama melalui Boyolali, kedua melalui Magelang dan yang terakhir melewati Kopeng. Saya menjatuhkan pilihan pada jalur terakhir karena beberapa pertimbangan. Pertama karena merupakan jalur tersingkat dari Semarang, kedua jalur tersebut adalah yang termudah jika dibanding yang lain dan yang terakhir karena saya rasa pemandangannya lebih bagus jika lewat Kopeng.
Berangkat dari Semarang pukul setengah tujuh pagi, kami mengisi perut dulu di kawasan Undip Tembalang. Kuah asin dari bubur ayam jakarta menjadi moodbooster yang tepat di pagi hari yang masih terasa dingin. Di hari sabtu seperti ini jalanan kebanyakan dipenuhi mobil-mobil yang nampaknya berisi orang-orang yang ingin memanfaatkan quality-time sebaik mungkin dengan keluarga tercintanya. Sesuai saran dari beberapa artikel, mesin, rantai, ban dan rem sudah disetting dengan kondisi terbaik, sehingga dapat saya dapat memacu kendaraan dengan sedikit cepat agar dapat tiba di tempat tujuan sesuai dengan waktu yang diperkirakan. Sampai di kota Salatiga, kami belok ke kanan di pertigaan lampu merah pertama, menuju arah Kopeng. Setelah melewati jalur lingkar Salatiga, jalan raya kecil yang dipenuhi pepohonan di kanan kiri khas jalur pegunung an mulai terlihat.
Setelah sekitar satu jam perjalanan akhirnya kami sampai di daerah Kopeng. Bisa dibilang Kopeng adalah Bandungan-nya Salatiga. Anda akan mendapati kombinasi dari hawa dingin, pemandangan hijau sepanjang jalan, kota Salatiga yang terlihat mengecil dalam pandangan mata dan hotel-hotel kelas melati. Ingin rasanya berhenti sebentar, menatap kota yang terasa jauh dibawah sana dan menyeruput kopi pagi, tapi Ketep masih menjadi prioritas utama.
Setelah Kopeng, kami melewati jalan berliku dan naik turun dengan pemandangan yang lebih menakjubkan. Kebun-kebun dengan pohon kecil di kiri dan jurang di kanan serta pick-up yang mengangkut hasil-hasil kebun sekitar menjadi tontonan yang berulang selama sekitar 10 menit. Kebanyakan rumah di pinggir jalan memiliki kebun disampingnya. Puncaknya kami melewati tempat yang sepertinya paling tinggi di daerah tersebut. Saya memutuskan untuk berhenti di sebuah warung dan membeli rokok serta minuman. Kami takjub dengan pemandangan di belakang dan di depan. Jika biasanya awan dapat dilihat jika mendongak keatas, disini kami bisa melihat awan dengan menunduk menatap daerah dibawah yang sudah kami lewati tadi.
Setelah berjalan lagi sekitar 20 menit, kami mulai memasuki wilayah dengan jalur lebih ekstrim. Saya mulai mengurangi kecepatan karena jalan naik turun berkelok dan berlubang serta jurang di pinggiran menjadi hal yang sering ditemui. Tapi perjalanan berbuah manis. Ketika memutuskan berhenti sebentar untuk menyalakan rokok dan menanyakan jalur kepada petani sekitar, kami menemukan sesuatu yang menakjubkan. “WOW, itu nirwana bukan sih?”, ujar partner-trip saya sambil geleng-geleng melihat gunung yang menjulang gagah dan berselimut awan tepat didepan kami. Saya ikut terkagum menatap sebuah gunung yang angkuh namun mengayomi. Oh ya, sedikit hal aneh yang saya temukan adalah warga sekitar disini terdengar sangat kaku jika menggunakan bahasa Indonesia, mereka lebih lancar berbicara dengan bahasa kromo Jawa.
Ternyata Ketep tak jauh dari situ, kami akhirnya tiba setelah menempuh hampir dua jam perjalanan. Belum banyak yang tiba di tempat ini. Setelah membayar tiket masuk yang terbilang murah, kami memarkirkan motor dan melihat-lihat sekitar, beberapa pedagang dari warung lesehan kecil di bawah berteriak menawari kopi dan jagung bakar. Saya tertarik dengan kopinya, teman saya tergoda dengan jagung bakarnya, tapi kami memutuskan untuk mengkhatamkan tempat ini dahulu.
Kami melewati pintu masuk bangunan di tengah, disitu tertulis museum vulkanologi. Rekam jejak gunung merapi yang meletus dari waktu ke waktu terpampang dalam foto-foto menakjubkan yang ditempel di dinding. Dari beberapa foto tersebut saya jadi bisa menyimpulkan betapa mengerikannya amukan wedus gembel yang membuat pepohonan hijau menjadi gersang dan berasap. Kita juga dapat menemukan artefak-artefak bebatuan yang diletakkan di kotak kaca. Beberapa diantaranya sudah tak ada tutup kaca dan batuan didalamnya juga hilang. Saya menyimpulkan mungkin akibat aksi vandalisme pengunjung yang tak bertanggung jawab, karena petugas hanya terlihat di pintu masuk dan beberapa tempat-tempat tertentu.
Pusat museum tersebut berada di tengah, dimana ada sebuah miniatur gunung merapi yang berdiameter sekitar 4 hingga 5 meter lengkap dengan jalur-jalur lava buatan dan alami. Setelah merasa cukup, kami berjalan keatas, menuju tempat teratas yang merupakan jalur tembus untuk gardu pandang diatas. Sebuah tempat lapang yang nampaknya merupakan landasan helikopter karena ada tanda silang besar berwarna putih ditengah-tengahnya. Beberapa spot-spot yang bagus sudah ditempati oleh pasangan muda-mudi. Kami akhirnya menemukan sebuah tempat yang masih kosong, gardu pandang dengan sebuah kursi panjang untuk melihat pemandangan di depan yang menakjubkan. Pemandangan melenakan serupa sepanjang perjalanan tadi telah tersaji di depan mata, bedanya kali ini kami bisa menikmatinya dengan duduk tenang dan fokus, saya juga dapat menghisap rokok dalam-dalam, dan percayalah, rasanya lebih nikmat ketimbang biasanya. Kami duduk dan berbincang, membicarakan betapa sepadannya perjalanan jauh yang sudah kami jalani, sedikit berdebat tentang citra yang kami tangkap melalui sudut pandang masing-masing. Kemudian sepakat bahwa pemandangan gunung berselimut awan didepan kami serta vegetasi yang berbaris rapi dibawahnya merupakan sebuah kombinasi yang memanjakan mata. Kami lalu mendapati bahwa setelah mata menangkap citra surgawi yang menakjubkan serta dipadu dengan perjalanan yang menyenangkan maka ketenangan pikiran adalah hasil akhirnya.
Setelah puas, kami menuju rumah makan yang berada di tempat tersebut. Rumah makan itu didesain dengan banyak jendela kaca besar, membuat pengunjung tetap leluasa menikmati pemandangan yang menjadi nilai jual lebih tinggi dibanding makanannya. Secangkir kopi hitam nikmat dan teh panas telah mengepul di depan kami. Perbincangan ringan terasa mengalir setelah otak anda dipuaskan dengan visual-visual yang menenangkan.
Sekitar tengah hari kami memutuskan untuk pulang. Meskipun matahari terlihat, tapi suasana dingin tetap menggigit. Di tengah jalan, hujan turun dengan deras. Berbalut jas hujan, berkendara perlahan di tengah deras di tempat seperti ini terasa berbeda dan lebih menyenangkan. Saya jadi teringat sebuah kutipan dari Rowan Atkinson, “I love walking in the rain, cause no one can see me crying”. Tapi kali ini untuk saya kutipan yang paling tepat mungkin “I love driving in the mountain, cause i can see everyone’s smiling”..








0 komentar:

Posting Komentar


Menata-mata © 2011