Menata-mata Kick My Web!
Menata-mata. Diberdayakan oleh Blogger.

About me

Foto Saya
ollay
hallo, mari bangun, dan menata mata..
Lihat profil lengkapku

Blog

Minggu, 29 Desember 2013

Review: Prisoners (2013)

0 komentar

Ada yang bilang "jangan percaya rating tinggi di imdb!". Tapi kalau tingginya rating bersanding lurus dengan panjangnya durasi film, nampaknya kita perlu menafikan dulu statement awal tadi. "Prisoners" jadi bukti tambahan kalau film berdurasi panjang dan rating tinggi berpotensi jadi klasik. Semula saya juga agak ragu waktu teman merekomendasikan film ini. Namun jajaran aktor wahid, poster yang ciamik ditambah nama  director Denis Villeneuve akhirnya sukses membuat saya penasaran. Fyi, Dannis itu juga sutradara yg bikin drama-gelap-epik-brengsek "Incendies" (fyi lagi, saya masih ga terima sama endingnya film ini).


Prisoners mengambil tema yang terkesan sangat standar: penculikan anak. Keller Dover (Hugh Jackman) mengalami mimpi terburuk setiap orangtua, putri enam tahunnya, Anna, hilang bersama dengan teman mainnya, Joy. Dari waktu ke waktu kepanikan semakin memuncak di keluarga mereka. Satu-satunya petunjuk hanya mobil RV bobrok yang tadinya diparkir di jalan sekitar rumah mereka. Dari hasil investigasi, Detektif Loki (Jack Gyllenhaal) berhasil menangkap Alex Jones (Paul Dano) si pengendara. Tetapi kurangnya bukti memaksa mereka melepaskan Alex yang ternyata IQ nya setara dengan anak 10 tahun. Ketika polisi mencoba menelusuri kemungkinan-kemungkinan lain, Dover tak punya pilihan lain kecuali melakukan investigasinya sendiri dengan Alex yang ia yakini adalah pelakunya.*

Prisoners adalah tipe drama thriller yang gelap, desperate, penuh misteri. Seepik Argo namun lebih intens, segelap Zodiac tapi lebih menguras emosi. Sayangnya (atau untungnya) sang sutradara memang tak mengajak penonton untuk memecahkan teka-teki labirinnya, tapi menuntun hingga pintu keluar. Buat saya sih tak masalah, karena menit ke menit dibuat naik turun oleh film yang belum lama rilis ini. Ada sisi sentimentil khas drama keluarga, ada ketegangan layaknya film crime, juga ada rasa penasaran yang biasa muncul di film misteri.

Paul Dano yang kembali ke fitrahnya.

Mungkin yang bisa dipetik dari film ini adalah Hugh Jackman nampak "kebapakan" dan lebih macho bila tanpa cakar (meskipun tetap sentimentil), Jack Gyllenhaal semakin terlihat lebih mature dan cerdas (mungkin efek ditinggal Heath Ledger) dan Paul Dano memang seharusnya kembali ke fitrahnya: jadi orang aneh. Secara umum, film ini layak ditonton untuk hiburan akhir tahun atau awal tahun.

Rating:

*) sinopsis di paragraf kedua merupakan kutipan yang diambil dari website IMDb.
Read more

Senin, 23 September 2013

Tribute to Breaking Bad Series Finale.

0 komentar

Jadi begini, saya lagi ketagihan nonton serial yang namanya “Breaking Bad”. Oke silahkan anggap saya ketinggalan jaman. Apalagi Breaking Bad sekarang sudah sampai Final Series di Final Season. Dafuk, nampaknya saya terlalu lama berkubang di imajinasi liar menjadi pembunuh zombie. Atau mungkin saya belum bisa move on dari Tersanjung saga yang twistnya terlalu mind-fuck hingga sutradaranya sendiri tak mampu membuat endingnya.

Breaking Bad adalah sebuah TV Series sejak tahun 2008 (lima tahun? Dan saya baru ngikutin beberapa waktu lalu! Ampunilah hamba, Gusti Randa!) produksi AMC. Kombinasi klasik drama-thriller dengan kadar action yang sedikit namun terasa sangat pas. Menceritakan seorang ahli kimia jenius bernama Walter White (Bryan Cranston) yang hidup pas-pasan menjadi guru Kimia di sebuah SMA. Dengan karakter klasik seorang guru yaitu biasa saja, sangat mencintai keluarga namun “cupu”, dia mendapat surprise di ulang tahunnya yang ke-50: vonis kanker paru-paru. Di tengah kebingungan soal biaya kemo dan bagaimana cara memberitahu seluruh keluarganya, dia bertemu dengan Jesse Pinkman (Aaron Paul), mantan muridnya yang kini menjadi drug-dealer kacangan. Dengan mempertaruhkan semua sisa uangnya untuk memproduksi methamphetamine biru, akhirnya Walter menjadi pemasak blue-meth (yang akhirnya juga menjadi trademarknya) terbaik di Albuquerque.

Seperti saya bilang sebelumnya, Breaking Bad menjual formula klasik dari sebuah TV Series yaitu Drama. Bedanya, sang sutradara Vince Gilligan mampu meramu sebuah drama yang sangat thrilling tanpa harus membuat adegan aksi yang berlebihan. Bahkan Vince sering langsung melempar plot ke adegan paska aksi seperti masterpiece Tarantino, Reservoir Dogs. Tenang, tak ada obrolan rancu semacam waitress-tip disini.

Konflik yang dibangun pun cukup kompleks. Dari konflik personal si Walter sendiri, konflik keluarga, pertemanan, hingga perselisihan dengan mafia narkoba dan kompetitor lainnya. Satu lagi yang menjadi faktor penting dari suksesnya film serial: Karakter. Karakter-karakter yang dibuat oleh Vince Gillighan bisa dibilang hampir sempurna (mengingat kesempurnaan hanya milik Tuhan, dan siapalah saya ini..) meskipun jajaran nama yang dipakai tidak begitu familiar. Hanya Bryan Cranston yang sedikit nyantol diotak, itupun karena dia pernah main di Drive, salah satu list film terbaik yang pernah saya tonton. Sedikit trivia, dia juga pernah bermain di sebuah comedy series Malcolm in the Middle. Ya, komedi.

Sementara karakter lain yang menonjol disamping sang istri Skyler White (Anna Gunn) dan anaknya Walter White Jr. (RJ. Mitte) yang menderita Cerebral Palsy, ada si Hank Schrader (Dean Norris), agen DEA yang juga saudara ipar Walter; Saul Goodman (Bob Odenkirk), si pengacara brengsek yang iklannya mirip dengan iklan sosis So Nice; Skinny Pete (Charles Baker) dan Badger (Matt Jones), teman Jesse Pinkman yang tergila-gila dengan film fantasi semacam Star Trek; serta beberapa mafia narkoba yang karakternya juga luar biasa.

Sementara ini Breaking Bad menempati posisi teratas dari daftar TV Series terbaik yang pernah saya tonton. Ya saya memang menyukai film drama. Selain itu, announcement bahwa film ini benar-benar akan berakhir juga membuat saya memberi nilai lebih. Bukan, film ini berakhir bukan karena tidak laku. Jauh dari itu, film ini sangat laku, bahkan menyabet banyak penghargaan. Film ini berakhir mungkin karena sang sutradara memutuskan memang harus berakhir dan meninggalkan kesan terbaik untuk penontonnya.  Atau mungkin sang sutradara tidak ingin memperpanjang cerita hingga lama-lama menjadi sampah hanya demi uang yang mengalir terus seperti Coldplay.

Ibarat penggemar sepakbola yang menunggu final-saga sebuah transfer besar, saya benar-benar tak sabar menanti final episode dari film ini. Bedanya, bagaimanapun ending saga ini saya yakin akan puas dengan hasilnya. Jika endingnya biasa saja, mungkin angka 90/100 adalah rating yang saya yakin akan diterima oleh semua orang. Sementara jika Vince Gilligan mampu memberikan ending yang mempesona, 95/100 adalah angka yang sangat sempurna untuk sebuah TV Series, mengingat sempurna adalah Tuhan semata dan 99/100 hanya milik blue-meth dari Walter White.


photos: Google, Breaking Bad's twitter (@BreakingBad_AMC), http://luilouie.blogspot.com/
Read more

Rabu, 02 Januari 2013

The Last Kiss: Tiada Sempurna yang Paripurna

0 komentar
Sudjiwo Tedjo pernah berkata “kau bisa merencanakan dengan siapa kau menikah, tapi kau tak bisa merencanakan pada siapa kau jatuh cinta”. Film ini bercerita tak jauh dari kata-kata dalang edan tersebut. Ya betul, hidup memang penuh dengan kontradiksi, dan itulah yang dicoba disampaikan dalam film berdurasi 115 menit ini.




Apa yang orang cari dalam hidup? Kesempurnaan bukan? Ketika kecil semua bermimpi nantinya memiliki pekerjaan layak, pacar / istri cantik yang baik, besar dan hidup bersama teman masa kecilmu. Michael (Zach Braff) memiliki semua itu, lalu bagian mana lagi yang kurang sempurna? Mungkin jawabannya adalah di kesempurnaan itu sendiri. Jika tak boleh dibilang kontradiktif maka ironis lah kata yang tepat untuk menggambarkan konflik-konflik (atau joke kehidupan?) yang dimunculkan oleh Tony Goldwyn, sang sutradara. 


Michael yang bekerja sebagai arsitek di sebuah firma yang besar memiliki pacar bernama Jenna yang baru saja mengandung serta teman-teman masa kecilnya yang tak sesempurna dirinya. Joke pertama yang Tony munculkan adalah karakter teman-temannya yang disatu sisi menjadi pelengkap dari kesempurnaan namun sekaligus menjadi tolok ukur akan kesempurnaan itu sendiri. Chris, yang juga teman kantornya yang telah menikah dan memiliki seorang anak laki-laki lucu namun rumah tangganya selalu dipenuhi cekcok; Izzy yang tak bisa move-on dari mantan pacarnya, bahkan sampai menghajar pacar baru si mantan; dan Kenny yang hobi gonta-ganti partner sex namun ketika telah menemukan tambatan hati malah akhirnya dilukai. Ya, Michael satu-satunya dari mereka yang memiliki kehidupan sempurna, hingga akhirnya dia malah menganggap (atau menyadari?) kesempurnaan tersebut sebagai satu-satunya kekurangannya.


Entah kenapa saya menganggap pernikahan dieksplorasi habis-habisan oleh sang sutradara. Konflik yang cukup berat dimulai ketika mereka semua berada di pernikahan salah seorang teman mereka. Michael bertemu dengan seorang gadis bernama Kim yang sangat agresif. Meskipun menolak dengan halus, namun ajakan dari gadis yang jauh lebih muda dari pacarnya dan juga tak kalah cantik akhirnya meluluhkannya. Dari sinilah intrik semakin menarik.




Joke kedua, Anna & Stephen (orang tua Jenna) yang telah menikah selama 30 tahun pun mendadak terancam retak pernikahannya. Alasannya? Pertama, Anna mencintai lelaki lain semenjak dahulu. Kedua, karena Stephen terlalu sempurna sebagai suami. Get the point? Disini Tony kembali mengaduk dan mengadu emosi serta logika.


Masih banyak lagi kontradiksi yang disajikan disini. Bagaimana Michael berselingkuh dan Jenna marah besar, sementara itu Anna (ibu Jenna) juga berselingkuh dan Stephen tenang-tenang saja. Hingga akhirnya Anna yang berinisiatif kembali ke suaminya dan diterima Stephen baik-baik, sementara Michael berusaha kembali namun Jenna tetap kekeuh dengan pendiriannya. Meskipun klasik, tapi endingnya lagi-lagi dipenuhi kontradiksi. 


Dibalik kompleksnya konflik, sebenarnya film ini mengangkat punch-line yang sangat umum untuk film drama,  middle-life crises. Kekurangan lain adalah karakternya yang menurut saya kurang begitu dalam. Tapi secara umum film ini layak untuk dikonsumsi di kala senggang, sekedar pemenuh kebutuhan untuk bermelankolis sesaat atau  kebutuhan untuk diaduk-aduk emosinya. Seperti Michael, kita tentu bosan jika kondisi emosi kita lempeng-lempeng saja kan?

Jika boleh disingkat ke satu kalimat saja mungkin yang cocok adalah “I love you, but I cannot be with you”. Ouch!
Read more

Minggu, 09 Desember 2012

Merah

0 komentar


Tiada nyala yang tak padam ketika tertiup kecewa, 
yang kau rasa segalanya seketika semakin seadanya. 
Mungkin bukan salah siapa-siapa, 
tapi kaulah siapa. 
Harusnya kau segera menyegerakan, 
memburu nyalanya yang mungkin belum padam. 
Mungkin kau punya pembenaran, 
menunda dia yang segala untuk segera merengkuh dalam sempurna. 
Kenyataannya, tiada sempurna yang segera, 
bahkan segala tak selalu sempurna.




10/12/12 01.23 with: Smashing Pumpkins - The Beginning Is The End Is The Beginning & The End Is The Beginning Is The End.
Read more

Menata-mata © 2011