Menata-mata Kick My Web!
Menata-mata. Diberdayakan oleh Blogger.

About me

Foto Saya
ollay
hallo, mari bangun, dan menata mata..
Lihat profil lengkapku

Blog

Sabtu, 21 Juli 2012

Cemetery Junction: Sebuah Persimpangan (Hidup)?


Semula saya tak mempunyai ekspektasi apa-apa ketika berniat menonton film ini, sekedar tertarik karena judulnya yang sedikit aneh. “Cemetery Junction”, begitu judul film ini. Dengan genre drama komedi, nampaknya tak banyak yang bisa diharapkan dari film yang mendapat rating 6,9 di IMDB ini.
Film bersetting tahun 1974 ini menceritakan tentang tiga orang sahabat berumur awal 20an, Bruce, Freddie dan Snork. Mereka besar di lingkungan sama, lingkungan buruh pabrik di kota Reading. Bruce, seorang pengacau dan emosional yang harus menghidupi Ayahnya yang hanya bisa menonton tv dan minum bir di rumah seharian, Freddie, pemuda tampan yang mencoba mengubah hidup dengan menjadi marketer di perusahaan asuransi, dan Snork, anak muda gendut (meskipun terkesan karakter pelengkap tapi tetap harus ada karakter seperti ini di film komedi manapun) yang mencoba mencari pacar dengan standar tinggi namun tak sadar jika mempunyai mulut kacau dan selera humor sangat buruk.
Yang ada di pikiran tiga pemuda ini mungkin tak jauh beda dengan yang ada di pikiran orang tua kita semasa muda dahulu, mendapat pekerjaan yang (setidaknya) mencukupi, menikah, punya anak, mengkredit rumah (yang kemungkinan baru lunas setelah 25 tahun), lalu setelah itu (mungkin) berlibur jika masih sempat. Mungkin juga bakal sama dengan pemikiran pemuda-pemuda macam kita ini jika memiliki orang tua yang konservatif, bedanya kita masih diselamatkan oleh pengusaha-pengusaha sukses yang mencoba membagi ilmu dan doktrinnya (atau menyesatkan kita?). Hanya Freddie yang mendapat sedikit wahyu dari para pengusaha (baca: penjual) di perusahaannya dan akhirnya mempunyai obsesi yang sedikit berlebih, mengubah nasibnya (kasta) sebagai golongan pekerja, memiliki rumah dan mobil Rolls Roys.
Mereka sama-sama menginginkan perubahan, tapi pada akhirnya bertemu pada jalan buntu. Bruce selalu berkata ingin pergi dari kota itu dan merubah nasib tapi dia hanya ingin pergi jika Freddie ikut dengannya, sedangkan Freddie masih memiliki obsesi berlebih dengan menjadi marketer terbaik di perusahaan asuransi dan memiliki kantor sendiri, meskipun dia sendiri masih belum mahir dalam menjual. Cerita menjadi menarik ketika Julie, teman lamanya yang juga anak bosnya dan tunangan dari marketer terbaik perusahaan, dan saling menceritakan tentang cita-citanya. Julie sedang getol-getolnya berman kamera dan bercita-cita keliling dunia dan mengabadikan semuanya dalam fotonya. Dia mengolok cita-cita Freddie yang tak ingin keluar dari Reading dan mengatakan bahwa di luar sana banyak hal yang sangat menarik dan menantinya. Tak perlu jadi penggila film untuk bisa menebak bahwa mereka saling tertarik dan jatuh cinta.
Jika saya tidak menspoiler ending film inipun tak masalah karena pasti kalian sudah dapat menebaknya. Dan memang begitulah film drama, tak seperti film-film misteri atau thriller yang membutuhkan ending twist untuk membuatnya jadi “cult”. Kelebihan film drama bukan berada di endingnya tapi bagaimana konflik yang dimunculkan bisa menguras emosi tanpa mengurangi relevansi. Dan disinilah relevansi itu bercerita.
Menariknya film ini adalah penempatan genre drama-komedinya. Disini kau susah untuk menemukan joke-joke yang membuatmu tertawa lepas. Entah kenapa saya merasa komedi yang dimunculkan adalah komedi satir tentang kehidupan (dan sekali lagi, sangat relevan).
Saya jadi teringat seorang teman wanita yang cantik dan memiliki pacar seorang calon-perwira. Wajah si pria bisa dibilang tak memiliki unsur tampan sama sekali dan sifatnya luar biasa menjengkelkan, tapi si wanita tetap saja bersabar. Kenapa? Alasan masa depan. Cerita tersebut juga ada di film ini, ironisnya hal itu terjadi pada Julie. Dia yang memiliki cita-cita menjadi petualang dan fotografer National Geographic harus bersiap menerima kenyataan bahwa dia akan berakhir seperti ibunya, menjadi ibu rumah tangga yang bakal memiliki rutinitas sama selama sisa hidupnya, tinggal di rumah sepanjang hari dan menyajikan teh setiap pagi kepada suaminya tanpa pernah mendapat ucapan terimakasih sama sekali.
Masih banyak drama-drama kehidupan yang dimunculkan dan nampak sangat nyata serta berkesusaian dengan kehidupan kita kebanyakan. Inilah yang membuat film ini terasa istimewa, memunculkan problematika khas pemuda awal 20an ditengah ruwetnya kehidupan dan pilihan yang segalanya masih terpendar. Mungkin disini kalian bisa menemukan beberapa jawaban (atau tidak) karena beberapa alternatif penyelesaian juga disajikan dengan konsekuensinya masing-masing. Untungnya, ini bukan tipikal drama yang memiliki ending menggantung atau twist, jadi setidaknya kau bisa sedikit tersenyum membayangkan ending yang manis untuk masa depanmu dan bersiap menghadapi kenyataan yang (awalnya) pahit esoknya J

0 komentar:

Posting Komentar


Menata-mata © 2011