Semula saya tak mempunyai ekspektasi apa-apa ketika berniat
menonton film ini, sekedar tertarik karena judulnya yang sedikit aneh.
“Cemetery Junction”, begitu judul film ini. Dengan genre drama komedi,
nampaknya tak banyak yang bisa diharapkan dari film yang mendapat rating 6,9 di
IMDB ini.
Film bersetting tahun 1974 ini menceritakan tentang tiga
orang sahabat berumur awal 20an, Bruce, Freddie dan Snork. Mereka besar di
lingkungan sama, lingkungan buruh pabrik di kota Reading. Bruce, seorang
pengacau dan emosional yang harus menghidupi Ayahnya yang hanya bisa menonton
tv dan minum bir di rumah seharian, Freddie, pemuda tampan yang mencoba
mengubah hidup dengan menjadi marketer di perusahaan asuransi, dan Snork, anak
muda gendut (meskipun terkesan karakter pelengkap tapi tetap harus ada karakter
seperti ini di film komedi manapun) yang mencoba mencari pacar dengan standar
tinggi namun tak sadar jika mempunyai mulut kacau dan selera humor sangat buruk.
Yang ada di pikiran tiga pemuda ini mungkin tak jauh beda
dengan yang ada di pikiran orang tua kita semasa muda dahulu, mendapat
pekerjaan yang (setidaknya) mencukupi, menikah, punya anak, mengkredit rumah
(yang kemungkinan baru lunas setelah 25 tahun), lalu setelah itu (mungkin)
berlibur jika masih sempat. Mungkin juga bakal sama dengan pemikiran
pemuda-pemuda macam kita ini jika memiliki orang tua yang konservatif, bedanya
kita masih diselamatkan oleh pengusaha-pengusaha sukses yang mencoba membagi
ilmu dan doktrinnya (atau menyesatkan kita?). Hanya Freddie yang mendapat
sedikit wahyu dari para pengusaha (baca: penjual) di perusahaannya dan akhirnya
mempunyai obsesi yang sedikit berlebih, mengubah nasibnya (kasta) sebagai
golongan pekerja, memiliki rumah dan mobil Rolls Roys.
Mereka sama-sama menginginkan perubahan, tapi pada akhirnya bertemu
pada jalan buntu. Bruce selalu berkata ingin pergi dari kota itu dan merubah
nasib tapi dia hanya ingin pergi jika Freddie ikut dengannya, sedangkan Freddie
masih memiliki obsesi berlebih dengan menjadi marketer terbaik di perusahaan
asuransi dan memiliki kantor sendiri, meskipun dia sendiri masih belum mahir
dalam menjual. Cerita menjadi menarik ketika Julie, teman lamanya yang juga
anak bosnya dan tunangan dari marketer terbaik perusahaan, dan saling
menceritakan tentang cita-citanya. Julie sedang getol-getolnya berman kamera
dan bercita-cita keliling dunia dan mengabadikan semuanya dalam fotonya. Dia
mengolok cita-cita Freddie yang tak ingin keluar dari Reading dan mengatakan
bahwa di luar sana banyak hal yang sangat menarik dan menantinya. Tak perlu
jadi penggila film untuk bisa menebak bahwa mereka saling tertarik dan jatuh
cinta.
Jika saya tidak menspoiler ending film inipun tak masalah
karena pasti kalian sudah dapat menebaknya. Dan memang begitulah film drama,
tak seperti film-film misteri atau thriller yang membutuhkan ending twist untuk
membuatnya jadi “cult”. Kelebihan film drama bukan berada di endingnya tapi
bagaimana konflik yang dimunculkan bisa menguras emosi tanpa mengurangi
relevansi. Dan disinilah relevansi itu bercerita.
Menariknya film ini adalah penempatan genre drama-komedinya.
Disini kau susah untuk menemukan joke-joke yang membuatmu tertawa lepas. Entah
kenapa saya merasa komedi yang dimunculkan adalah komedi satir tentang
kehidupan (dan sekali lagi, sangat relevan).
Saya jadi teringat seorang teman wanita yang cantik dan
memiliki pacar seorang calon-perwira. Wajah si pria bisa dibilang tak memiliki
unsur tampan sama sekali dan sifatnya luar biasa menjengkelkan, tapi si wanita
tetap saja bersabar. Kenapa? Alasan masa depan. Cerita tersebut juga ada di
film ini, ironisnya hal itu terjadi pada Julie. Dia yang memiliki cita-cita
menjadi petualang dan fotografer National Geographic harus bersiap menerima
kenyataan bahwa dia akan berakhir seperti ibunya, menjadi ibu rumah tangga yang
bakal memiliki rutinitas sama selama sisa hidupnya, tinggal di rumah sepanjang
hari dan menyajikan teh setiap pagi kepada suaminya tanpa pernah mendapat
ucapan terimakasih sama sekali.
Masih banyak drama-drama kehidupan yang dimunculkan dan
nampak sangat nyata serta berkesusaian dengan kehidupan kita kebanyakan. Inilah
yang membuat film ini terasa istimewa, memunculkan problematika khas pemuda
awal 20an ditengah ruwetnya kehidupan dan pilihan yang segalanya masih
terpendar. Mungkin disini kalian bisa menemukan beberapa jawaban (atau tidak)
karena beberapa alternatif penyelesaian juga disajikan dengan konsekuensinya
masing-masing. Untungnya, ini bukan tipikal drama yang memiliki ending
menggantung atau twist, jadi setidaknya kau bisa sedikit tersenyum membayangkan
ending yang manis untuk masa depanmu dan bersiap menghadapi kenyataan yang
(awalnya) pahit esoknya J
0 komentar:
Posting Komentar