Sudjiwo Tedjo pernah berkata “kau bisa merencanakan dengan
siapa kau menikah, tapi kau tak bisa merencanakan pada siapa kau jatuh cinta”.
Film ini bercerita tak jauh dari kata-kata dalang edan tersebut. Ya betul,
hidup memang penuh dengan kontradiksi, dan itulah yang dicoba disampaikan dalam
film berdurasi 115 menit ini.
Apa yang orang cari dalam hidup? Kesempurnaan bukan? Ketika
kecil semua bermimpi nantinya memiliki pekerjaan layak, pacar / istri cantik
yang baik, besar dan hidup bersama teman masa kecilmu. Michael (Zach Braff)
memiliki semua itu, lalu bagian mana lagi yang kurang sempurna? Mungkin
jawabannya adalah di kesempurnaan itu sendiri. Jika tak boleh dibilang
kontradiktif maka ironis lah kata yang tepat untuk menggambarkan
konflik-konflik (atau joke kehidupan?) yang dimunculkan oleh Tony Goldwyn, sang
sutradara.
Michael yang bekerja sebagai arsitek di sebuah firma yang
besar memiliki pacar bernama Jenna yang baru saja mengandung serta teman-teman
masa kecilnya yang tak sesempurna dirinya. Joke pertama yang Tony munculkan
adalah karakter teman-temannya yang disatu sisi menjadi pelengkap dari
kesempurnaan namun sekaligus menjadi tolok ukur akan kesempurnaan itu sendiri.
Chris, yang juga teman kantornya yang telah menikah dan memiliki seorang anak
laki-laki lucu namun rumah tangganya selalu dipenuhi cekcok; Izzy yang tak bisa
move-on dari mantan pacarnya, bahkan sampai menghajar pacar baru si mantan; dan
Kenny yang hobi gonta-ganti partner sex namun ketika telah menemukan tambatan
hati malah akhirnya dilukai. Ya, Michael satu-satunya dari mereka yang memiliki
kehidupan sempurna, hingga akhirnya dia malah menganggap (atau menyadari?) kesempurnaan
tersebut sebagai satu-satunya kekurangannya.
Entah kenapa saya menganggap pernikahan dieksplorasi
habis-habisan oleh sang sutradara. Konflik yang cukup berat dimulai ketika
mereka semua berada di pernikahan salah seorang teman mereka. Michael bertemu
dengan seorang gadis bernama Kim yang sangat agresif. Meskipun menolak dengan
halus, namun ajakan dari gadis yang jauh lebih muda dari pacarnya dan juga tak
kalah cantik akhirnya meluluhkannya. Dari sinilah intrik semakin menarik.
Joke kedua, Anna & Stephen (orang tua Jenna) yang telah
menikah selama 30 tahun pun mendadak terancam retak pernikahannya. Alasannya?
Pertama, Anna mencintai lelaki lain semenjak dahulu. Kedua, karena Stephen
terlalu sempurna sebagai suami. Get the point? Disini Tony kembali mengaduk dan
mengadu emosi serta logika.
Masih banyak lagi kontradiksi yang disajikan disini.
Bagaimana Michael berselingkuh dan Jenna marah besar, sementara itu Anna (ibu
Jenna) juga berselingkuh dan Stephen tenang-tenang saja. Hingga akhirnya Anna
yang berinisiatif kembali ke suaminya dan diterima Stephen baik-baik, sementara
Michael berusaha kembali namun Jenna tetap kekeuh dengan pendiriannya. Meskipun
klasik, tapi endingnya lagi-lagi dipenuhi kontradiksi.
Dibalik kompleksnya konflik, sebenarnya film ini mengangkat
punch-line yang sangat umum untuk film drama,
middle-life crises. Kekurangan lain adalah karakternya yang menurut saya
kurang begitu dalam. Tapi secara umum film ini layak untuk dikonsumsi di kala
senggang, sekedar pemenuh kebutuhan untuk bermelankolis sesaat atau kebutuhan untuk diaduk-aduk emosinya. Seperti
Michael, kita tentu bosan jika kondisi emosi kita lempeng-lempeng saja kan?
Jika boleh disingkat ke satu kalimat saja mungkin yang cocok
adalah “I love you, but I cannot be with you”. Ouch!
0 komentar:
Posting Komentar