Menata-mata Kick My Web!
Menata-mata. Diberdayakan oleh Blogger.

About me

Foto Saya
ollay
hallo, mari bangun, dan menata mata..
Lihat profil lengkapku

Blog

Rabu, 02 Januari 2013

The Last Kiss: Tiada Sempurna yang Paripurna

Sudjiwo Tedjo pernah berkata “kau bisa merencanakan dengan siapa kau menikah, tapi kau tak bisa merencanakan pada siapa kau jatuh cinta”. Film ini bercerita tak jauh dari kata-kata dalang edan tersebut. Ya betul, hidup memang penuh dengan kontradiksi, dan itulah yang dicoba disampaikan dalam film berdurasi 115 menit ini.




Apa yang orang cari dalam hidup? Kesempurnaan bukan? Ketika kecil semua bermimpi nantinya memiliki pekerjaan layak, pacar / istri cantik yang baik, besar dan hidup bersama teman masa kecilmu. Michael (Zach Braff) memiliki semua itu, lalu bagian mana lagi yang kurang sempurna? Mungkin jawabannya adalah di kesempurnaan itu sendiri. Jika tak boleh dibilang kontradiktif maka ironis lah kata yang tepat untuk menggambarkan konflik-konflik (atau joke kehidupan?) yang dimunculkan oleh Tony Goldwyn, sang sutradara. 


Michael yang bekerja sebagai arsitek di sebuah firma yang besar memiliki pacar bernama Jenna yang baru saja mengandung serta teman-teman masa kecilnya yang tak sesempurna dirinya. Joke pertama yang Tony munculkan adalah karakter teman-temannya yang disatu sisi menjadi pelengkap dari kesempurnaan namun sekaligus menjadi tolok ukur akan kesempurnaan itu sendiri. Chris, yang juga teman kantornya yang telah menikah dan memiliki seorang anak laki-laki lucu namun rumah tangganya selalu dipenuhi cekcok; Izzy yang tak bisa move-on dari mantan pacarnya, bahkan sampai menghajar pacar baru si mantan; dan Kenny yang hobi gonta-ganti partner sex namun ketika telah menemukan tambatan hati malah akhirnya dilukai. Ya, Michael satu-satunya dari mereka yang memiliki kehidupan sempurna, hingga akhirnya dia malah menganggap (atau menyadari?) kesempurnaan tersebut sebagai satu-satunya kekurangannya.


Entah kenapa saya menganggap pernikahan dieksplorasi habis-habisan oleh sang sutradara. Konflik yang cukup berat dimulai ketika mereka semua berada di pernikahan salah seorang teman mereka. Michael bertemu dengan seorang gadis bernama Kim yang sangat agresif. Meskipun menolak dengan halus, namun ajakan dari gadis yang jauh lebih muda dari pacarnya dan juga tak kalah cantik akhirnya meluluhkannya. Dari sinilah intrik semakin menarik.




Joke kedua, Anna & Stephen (orang tua Jenna) yang telah menikah selama 30 tahun pun mendadak terancam retak pernikahannya. Alasannya? Pertama, Anna mencintai lelaki lain semenjak dahulu. Kedua, karena Stephen terlalu sempurna sebagai suami. Get the point? Disini Tony kembali mengaduk dan mengadu emosi serta logika.


Masih banyak lagi kontradiksi yang disajikan disini. Bagaimana Michael berselingkuh dan Jenna marah besar, sementara itu Anna (ibu Jenna) juga berselingkuh dan Stephen tenang-tenang saja. Hingga akhirnya Anna yang berinisiatif kembali ke suaminya dan diterima Stephen baik-baik, sementara Michael berusaha kembali namun Jenna tetap kekeuh dengan pendiriannya. Meskipun klasik, tapi endingnya lagi-lagi dipenuhi kontradiksi. 


Dibalik kompleksnya konflik, sebenarnya film ini mengangkat punch-line yang sangat umum untuk film drama,  middle-life crises. Kekurangan lain adalah karakternya yang menurut saya kurang begitu dalam. Tapi secara umum film ini layak untuk dikonsumsi di kala senggang, sekedar pemenuh kebutuhan untuk bermelankolis sesaat atau  kebutuhan untuk diaduk-aduk emosinya. Seperti Michael, kita tentu bosan jika kondisi emosi kita lempeng-lempeng saja kan?

Jika boleh disingkat ke satu kalimat saja mungkin yang cocok adalah “I love you, but I cannot be with you”. Ouch!

0 komentar:

Posting Komentar


Menata-mata © 2011