Saya tak bisa membandingkan diri dengan para backpacker,
meskipun saya juga menggunakan backpack sebagai tempat untuk menyimpan
segalanya kali ini. Saya mengalami perjalanan yang nyaman tanpa perlu
menghitung sisa uang di dompet, tanpa berkali-kali menghapus peluh bahkan tanpa
perlu bingung berkali-kali mengawasi tas saya yang membumbung. Lalu kondisi berubah drastis ketika sudah
sampai di Jogja. Saya berpetualang sendirian, tanpa peta, hanya ditemani
sejumput ingatan yang samar tentang jalan-jalan di kota ini.
Dengan menggunakan Trans-Jogja yang para karyawannya sangat
bersahabat, saya coba menyusuri sedikit demi sedikit ingatan yang semakin
terkembang. Tujuan saya satu, Malioboro. Classic, eh? Alasannya simpel,
selain karena menyesuaikan kondisi badan serta waktu yang sudah menjelang
senja, saya juga belum pernah benar-benar menelusuri jalan paling monumental di
kota Jogja ini dari ujung ke ujung
secara intim dan personal. Berlebihan kah?
Akhirnya saya benar-benar menyusuri jalan ini dari ujung utara
ke selatan. Tampilannya tak berubah, masih seperti dulu. Pedagang yang
menjajakan barang yang hampir serupa, pelancong luar kota, adek-adek SMA yang
sedang berwisata, terkadang bule yang errr, aneh. Berjalan sendirian membuat
saya bisa mengamati orang-orang dengan lebih detil dan bebas. Kau tak perlu
menunggu partnermu ketika dia menawar sesuatu, sebaliknya kau tak perlu
menyuruhnya menunggu untukmu.
Saya berjalan dari ujung ke ujung, puas mengomentari
segala sesuatunya dengan diri dan bebas untuk menikmati bayangan sendiri yang semakin memanjang dari menit ke menit. Saya mengamati bapak-bapak
penarik becak yang memandang kosong ke ibu-ibu berkerudung lebar ketika keberatan
membawa belanjaannya, menikmati rokok hisapan demi hisapan sembari menatap
nanar mbah-mbah tuna-netra yang memutar tape kencang demi sekeping limaratusan,
dan mengumpat pelan ketika ditipu kapitalis kakap yang menjual soft-drink jauh
melampaui normal hanya karena dia mampu membuat lingkaran di sekeliling. Inilah
yang saya dapatkan dari berpetualang sendirian di kota orang. Menyenangkan? Ya.
Menyedihkan? Sesuatu yang positif selalu bersanding dengan negatif. Selalu.
Note: Oh ya, saya menulis ini ketika menanti dijemput kembali oleh
teman saya. Dan sesungguhnya, nuansa kota Jogja adalah malam hari di sebuah
angkringan kecil dengan beberapa pengamen yang mempesona. Sayangnya, saya
berada di tempat yang salah. Saya sebut tempat ini “Jakarta-mini”, dimana orang
Jogja menggunakan logat ibu-kota dengan sangat memaksa. Ya, saya yang salah. Ah
sudahlah, saya mau menuju ke Jogja yang sebenarnya..
Jakarta-mini |
09/09/12 21.12 with Glittering Blackness from Explosions In The Sky.
1 komentar:
Saya sebut tempat ini “Jakarta-mini”, dimana orang Jogja menggunakan logat ibu-kota dengan sangat memaksa. --> Lucu :D saya yang orang Jogja pun setuju dengan opini kamu. Hehe!
Posting Komentar