Saya selalu mengorelasikan musik dengan kehidupan. Bukan sok
berat atau filosofis, tapi sudah menjadi hal yang umum jika musik itu sendiri
menjadi bagian dari keseharian, merasuk dalam setiap kegiatan, bahkan menjadi
mediator sebuah kenangan. Sebut saya melankolis ataupun platonis,
sebagai bayarannya, saya akan menghakimimu sebagai orang yang mempunyai
kehidupan statis!
Sekarang saya ingin bercerita tentang sebuah album berjudul
Ephic Symphony dari band electropop Bandung, Homogenic. Ini bukan review,
sekedar menceritakan seberapa ikonik album ini dalam perjalanan saya beberapa
waktu terakhir. Mudahnya, saya mengibaratkan album ini sebagai musik magis yang
mengantar perjalanan pulang di malam hari yang hujan.
Bayangkan kau dalam vakansimu untuk menangkap landscape. Kau
sudah mencapai ketenangan batin yang maksimal, lalu berniat menuju tempat
termanismu kali ini, penginapan. Di perjalanan, mendadak hujan mengguyur. Dalam
lelah yang hampir memuncak, kau harus mengendalikan kemudi dengan perlahan. Menerobos
tangisan alam, mengacuhkan pohon-pohon menyeramkan di tepian, menyusur jalan
sepi dan gelap. Kau bisa bilang ini kontradiksi, pikiranmu sudah sangat segar,
tapi kondisi badan dalam tingkat paling datar. Beruntung, kau bersama teman
terbaikmu, dia yang selalu bertanya “are you okay?”, sekedar memastikan bahwa
kau tak terkantuk. Lalu hujan berhenti, menyisakan kabut mengambang dan dingin
yang menusuk tulang. Kemudian kau putuskan untuk berhenti sejenak, melihat
eloknya bintang untuk sekedar berkata “WOW”, karena kadang kita terlalu khilaf untuk
mengucap syukur.
Saya memang melukis peta kehidupan lewat kuas-kuas bernama
perjalanan dan cat bernama teman. Tapi pada akhirnya kondisi yang memorable
serta tak mungkin terulang tersebut hanya menyisakan lukisan kenangan. Sebuah
lukisan yang hanya bisa dipandang dan dirasakan lagi dalam hati. Ya lukisan
semu tersebut berbentuk lagu-lagu.
Semarang, 08-05-12
04.32 am. With Epic Symphony on repeat.
0 komentar:
Posting Komentar