Menata-mata Kick My Web!
Menata-mata. Diberdayakan oleh Blogger.

About me

Foto Saya
ollay
hallo, mari bangun, dan menata mata..
Lihat profil lengkapku

Blog

Minggu, 12 Februari 2012

Who We Were: Sebuah Refleksi atau Proyeksi?

Ah, sudah lama juga blog ini terlupakan. Banyak rekam jejak yang terlewat untuk diabadikan dalam rangkaian kata. Yasudahlah, mau bagaimana lagi, yang terlewat tak pernah berulang.
Beberapa bulan terakhir saya telah melalui banyak momen-momen yang luar biasa, petualangan tak terlupakan, dan perjalanan yang menyenangkan. As the time goes by, we felt time pass. Jujur, saya ingin mengulangi beberapa momen tersebut lagi -dan memang harus berulang lagi-, tentunya dengan cara berbeda dan jalan yang berbeda. Hidup tak mungkin statis kan? Orang yang sama? Entahlah, semoga.
Beberapa yang sangat berkesan adalah "perjalanan". Saya pernah berkata bahwa ketertarikan paling besar saya adalah "orang" dan "tempat". Kebetulan, beberapa waktu yang terlewati sukses diisi dengan mengeksplorasi ketertarikan saya akan "tempat" dan untungnya dengan orang yang tepat. Mungkin lain kali akan saya munculkan -pasti saya munculkan- beberapa cerita tentang petualangan-petualangan mengesankan tersebut, tapi tidak kali ini.
Lansekap selalu mampu membuat takjub mata saya, kemudian merasuk hingga memunculkan ketenangan psikis. Ditambah beberapa bincang ringan dengan teman perjalanan, dan sempurna lah wisata menata-mata saya. Kombinasi tersebut sukses membuat saya siap menghadapi hari untuk beberapa waktu ke depan.
Seperti sebuah film, tiap kejadian pasti memiliki soundtrack tersendiri. Ketika sebuah perjalanan itu meninggalkan kesan, sebuah atau beberapa lagu selalu menjadi tautan. Begitulah. 
Sementara untuk soundtrack sendiri, lansekap memang paling tepat dikaitkan dengan musik bergenre Ambient. Entah kenapa yang selalu terputar dalam memori dan library adalah Circadian Eyes. Jika lagu-lagunya -dengan sengaja ataupun tidak- terputar dalam pemutar musik digital, tampilan lansekap yang saya lalui beberapa waktu lalu selalu muncul berulang dan berulang, dengan dialog yang sama, dengan kopi dan teh yang sama.
Baiklah, cukup cuap-cuapnya. Anggap saja itu adalah memoar singkat perjalanan yang akhirnya menjelma jadi sebuah intro-review dari one-man-band ini. Sebenarnya musiknya terlalu hebat untuk dikonstruksikan dalam paragraf-paragraf, sama seperti perjalanan-perjalanan saya, terlalu menarik jika harus dimampatkan dalam rangkaian kata.


Circadian Eyes - Who We Were (2011)

Artist : Circadian Eyes
Genre : Post Rock, Ambient, Electronic, Modern-Classical.  

Pertama kali harus saya tekankan bahwa saya tak punya kapasitas untuk membuat review dari sudut pandang teknik, karena tak mempunyai basic musik. Saya hanya akan menekankan dalam posisi sebagai pendengar yang masif.

Album berkonsep adalah sebuah harga yang mahal untuk para musisi baru, bahkan untuk genre sekelas post rock dan eksperimental yang memang menuntut sebuah karya yang utuh sebagai identitas. Tak banyak band dengan genre tersebut yang mampu membuat sebuah full album berkonsep dan menghasilkan anatomi yang sempurna. Bahkan album se-seminal Spiderland dari nenek moyang Post Rock, Slint, adalah hasil dari elaborasi album pertamanya, Tweez.

Menilik dari hal tersebut, sebuah full-album pertama dari one-man-band asal New York, Circadian Eyes yang berjudul Who We Were boleh saya tahbiskan sebagai masterpiece. Circadian Eyes adalah sebuah siklus dari Bryan Collins, atau mungkin sebaliknya. Dua mini album berjudul EP dan Rain yang rilis pada tahun 2010 bukanlah sebuah batu loncatan, tapi menjadi dua rilisan komunal yang pada akhirnya menjelma menjadi satu ekosistem bernama Who We Were. Bukannya membingungkan, tapi malah membuat karyanya semakin ringkas dalam eksekusi yang kompleks. Singkat kata, berulang tapi tak membosankan, berputar-putar tapi bertualang.

Bryan Collins menggabungkan unsur post rock, ambient, classical hingga electronic dalam takaran yang pas. Korelasinya adalah melodi piano yang membius, membuat termenung sejenak dan membayangkan sebuah rekam jejak milikmu sendiri. Dalam rilisnya, pemuda berumur 23 tahun ini memang mengakui bahwa influence terbesarnya adalah Olafur Arnalds, Sigur Ros, The Tumbled Sea dan Eluvium. Dan tak bisa dipungkiri, nama-nama tersebut meskipun sedikit tetap tercetak dalam sound-sound yang dimunculkan.

Menurut telaah pribadi, Who We Were adalah suatu kesatuan yang utuh. Dari artworknya memang terlihat seperti cover album bergenre Ambient kebanyakan, menonjolkan landscape bertema “langit”. Tak perlu didebat, saya sendiri dulu pernah menuliskan bahwa musik nirlirik memang patut dianalogikan sebagai musik langit, -tak berbatas-, kau buat lirik versimu sendiri! Secara umum, album ini mengajak untuk berrefleksi kebelakang dan berproyeksi ke depan.

Pada track pertama yang berjudul sama dengan albumnya, pendengar sudah diajak bertualang dengan kombinasi gitar yang powerful, marching drum yang masif, piano yang harmonis. Nuansa quite-loud-quite sangat terasa di lagu pembuka ini, seolah menahbiskan diri bahwa dirinya adalah one-man-post-rock-band. Ya, saya menempatkan diri sebagai seorang petualang tanpa beban.

Track kedua, The Day of Snow, diawali dengan piano tunggal yang mengawang, berlanjut dengan beat menanjak yang disambut dengan marching drum khas Sigur Ros album Med Sud I Eyrum Vid Spilum Endalaust. Pada akhir lagu, intro berulang. Saya mendaki sebuah gunung tak bernama.

Track ketiga, Life in Slow Motion, kali ini sedikit menurun. Kembali diawali dengan piano tunggal mengawang, ditambah nuansa ambient yang pekat dan dibalut dengan akustik gitar yang halus. Oke, saya telah lelah menanjak gunung dan ingin istirahat sejenak. Ketika melihat apa yang telah dilalui, mendadak muncul rasa malas untuk melanjutkan.

Track keempat, Searchlight, tak jauh beda pada awalnya. Di tengah-tengah lagu, suguhan gitar post rock-is muncul, ditambah titik-titik synth dalam kadar yang sangat kecil. Saya masih ingin malas, lelah untuk melanjutkan perjalanan, untungnya saya diberi suguhan menarik berupa lampu-lampu yang mulai muncul di kejauhan. Nyaman.

Track kelima, Miles Away, She Sleeps, lagi-lagi menurun. Saya teringat dia, berharap ada disini, tapi dia jauh disana, sudah terlewat dan sedang tertidur.

Track keenam, Goodbye, piano berdampingan dengan nuansa ambience yang dimunculkan dari synth. Pada akhirnya, piano memonopoli, memunculkan melankolisme tersendiri. Disinilah departemen lirik pada musik dipertanyakan. Jika sebuah piano saja mampu menghasilkan nuansa melankolis, untuk apa kita batasi dengan kata-kata yang sok destruktif?

Track ketujuh, Astronauts, saya menghadap ke atas, disana bintang menyajikan petualangan. Ambient luar angkasa yang menyejukkan.

Track kedelapan, Reaching Hands, dari atas sang bintang mengulurkan tangan. Mungkin dari segi musik sangat jauh bila dibandingkan dengan “Moonlight” milik Mono, tapi sangat sah jika saya bilang ini adalah “Moonlight” versi ceria dengan beat drum dan string yang lebih berpotensi memunculkan senyum.

Track kesembilan, We Felt Time Pass, disini pengaruh Olafur Arnalds lebih terasa. Bryan mengajak kita untuk menilik kebelakang. Ahh cukup, saatnya berjalan lagi.

Track kesepuluh, And We Carved Our Names into the Trees, sekali lagi solo piano yang dimunculkan hampir sama dengan beberapa track awal, seolah memaksa kita untuk kembali berkaca ke belakang. Track ini adalah kombinasi sekaligus klimaks dari sembilan track sebelumnya. Billy Corgan pernah berteriak, “The End is The Beginning is The End”, mungkin Bryan memegang teguh kredo ini. Jika akhir adalah awal dan awal adalah akhir, mungkinkah ukiran nama yang dia maksud adalah sebuah nisan? Ah sudahlah, saya sudah sampai di puncak gunung, saatnya menorehkan nama. Tapi, bukankah nama itu bisa tertoreh setelah kita menghasilkan sebuah peran? Persetan, setidaknya disini Bryan Collins sudah sukses membuat torehan yang maksimal dengan musiknya yang bercerita.



Tracklist :
1. Who We Were (03:01)
2. The Days of Snow (03:35)
3. Life in Slow Motion (03:55)
4. Searchlights (04:15)
5. Miles Away, She Sleeps (02:40)
6. Goodbye (04:26)
7. Astronauts (02:09)
8. Reaching Hands (04:15)
9. We Felt Time Pass (03:12)
10. And We Carved Our Names into the Trees (06:04) 


rate: 4/5

note: terlepas dari seringnya nada-nada piano yang berulang, album ini adalah satu dari sedikit album yang bisa didengarkan berulang-ulang tapi tak terasa membosankan. cobalah!



* 13 / Feb / 2011
04:05
with And We Carved Our Names into the Trees from Circadian Eyes on repeat

0 komentar:

Posting Komentar


Menata-mata © 2011