Menata-mata Kick My Web!
Menata-mata. Diberdayakan oleh Blogger.

About me

Foto Saya
ollay
hallo, mari bangun, dan menata mata..
Lihat profil lengkapku

Blog

Rabu, 05 Oktober 2011

90% OFF : 10% Right - Mesin Waktu Yang Salah Mendarat.

Kali ini iseng-iseng saya benar-benar iseng. Setelah mereview musik nir-lirik dari Explosions In The Sky dan konser hidup Texas Pandaa, saya akan mereview sebuah band lokal dari Semarang (dan mini albumnya juga tentunya). Kenapa iseng? Karena musik yang disuguhkan sebenarnya juga bukan tipe musik yang bersahabat di telinga saya, apa lagi masuk perpustakaan media pemutar nada. Mengherankan memang, apalagi alasan saya penasaran dengan musiknya adalah alasan klasik yang bisa dibilang anomali. hahaha

Berawal dari beberapa bulan yang lalu, sebuah gig kecil diadakan di amphiteather Taman KB untuk kali pertama. Menyenangkan rasanya memiliki sebuah public-space berupa taman kota yang lebih bersih dan serba bisa. Mau kuliner, ada di sekitar trotoar berjajar. Mau pacaran, tempat duduk nyaman sudah disediakan. Mau bermain bersama anak dan keluarga, disini juga tersedia. Hebatnya lagi, sebuah skate park juga ada. Dan tentunya, sebuah amphiteather sebagai tempat menumpahkan ekspresi.
Kembali ke topik, kebetulan saya tertarik dengan gig kecil penanda munculnya amphiteather tersebut karena kebetulan saya belum pernah menonton OK Karaoke dengan vokalis barunya, si Dito Lele yang ga jelas itu (piss le, hehe). Sayangnya, OK Karaoke menjadi performer terakhir malam itu dan saya beserta beberapa teman tiba terlalu awal. Alhasil, mau tak mau kami harus menunggu.
Performer pertama, khas Semarang, bukan selera saya. Selanjutnya, tak jauh beda. Akhirnya kami putuskan untuk menyingkir sejenak, telinga kami kurang cocok. Setelah telinga agak fresh, kami kembali ke tempat semula. Sebuah band sedang bersiap-siap. Mereka mengenakan pakaian berwarna gelap (salah satunya menggunakan kaos Lamb of God, seingat saya), serta ada sebuah synthesizer sebagai pelengkap. Another metal tulit-tulit, pikir saya awalnya.
Setelah beberapa personil siap (anggap saja kita mengacuhkan mc yg berkoar tak jelas), seorang wanita (atau gadis? ah apalah itu..) mengambil alih mic dan naik ke panggung. Kali ini mereka sukses mendapat atensi penuh dari saya. Gadis yang sebelumnya juga sempat saya perhatikan sekilas dari tempat duduk saya. Ya, dia menarik. Putih, kecil, goodlooking, senyumnya menarik. Berbeda dari personil lain, dia memakai kaos berwarna kuning cerah dengan sedikit motif daun-daun berwarna hitam, salah seorang teman saya suka menyebutnya kaos-katty-perry, tapi orang normal menyebutnya Fred Prerry. :D
Kembali ke panggung, ekspektasi saya, mereka adalah sebuah musik metal tulit-tulit (oke, itu istilah saya pribadi). Ketika mereka memainkan nomor pertama, ekspektasi saya runtuh. Suara "tulit-tulit" yang saya bayangkan hampir bisa dibilang tidak muncul sama sekali. Synth (atau keyboard? entahlah..) digunakan untuk memunculkan nuansa gelap pada lagu. Ternyata mereka lebih menonjolkan musik progressive pada lagu ini. Kombinasi tempo yang naik turun, gitar meliuk-liuk, drum seperti senapan otomatis dan suara keyboard gelap yang dimunculkan, malah mengingatkan saya pada Nightwish, Dreamtheater bahkan Isis, dalam porsi masing-masing tentunya. 
Awalnya saya juga menduga bahwa gadis vokalis yang menarik tadi adalah tipe gadis-vokalis-masa-kini yang hanya mengumbar suara serak dari tenggorokan (dan kemudian mencari obat batuk setelah sampai rumah),  ternyata yang muncul darinya adalah suara datar yang tidak terlalu memaksa, bahkan untuk beberapa part "teriakan", personil lain yang mengambil alih. Oke, kali ini mereka semakin sukses mengambil atensi penuh dari saya. Bisa dibilang mereka berhasil membuat Taman KB sedikit mendung dengan nuansa gelap yang dimunculkan oleh synth dan sedikit memacu adrenalin penonton dengan senapan otomatisnya. Setelah lagu pertama selesai, yang sekelebat lewat di otak saya adalah wajah Tarja Turunen, vokalis lawas Nightwish. Sayangnya suara si gadis-vokalis cukup jauh dari suara sopran luar-biasa milik Tarja, beruntung -menurut saya- dia lebih enak dipandang dibanding Tarja yang penampilan gothicnya -sekali lagi menurut saya- menyeramkan.
Selesai lagu pertama yang seharusnya menarik tapi dinodai dengan soundsystem yang amat sangat (maaf saya menggunakan frase ini, tapi percayalah!) payah, si gadis vokalis sedikit meracau untuk berusaha berkomunikasi dengan audiens. Nampaknya dia sedikit kepayahan dengan kemampuan komunikasinya, satu lagi nilai minus saya berikan untuk sang vokalis. Berusaha untuk berkomunikasi dengan audiens yang random tanpa terlihat norak adalah sebuah hal yang sulit, setidaknya dia tidak membuatnya terlihat berlebihan seperti penyanyi-penyanyi pagi hari yang bak pahlawan kepagian. Sebenarnya merupakan hal wajar untuk sebuah band yang masih dibilang baru, telur saja butuh dieram untuk menetas.
Pada set-list selanjutnya, saya sudah agak lupa, tapi yang pasti cukup jauh dari track awal. Yang sedikit saya ingat adalah saya menyingkir sejenak untuk mencari nafas. Setelah mendapat nafas dan kami hisap bersama-sama (nafas yang kami hisap berharga 10rebu, bangsat!), kami hanya berharap untuk segera melihat penampilan OK Karaoke. Dan dari ocehan-ocehan mc, akhirnya saya tau nama band tersebut adalah 90% OFF (Ninety Percent Off). Pantas saja si gadis-vokalis menyebut kata-kata "diskon" pada saat jeda lagu. Yah, setidaknya dia bukan tipe gadis yang tergila-gila dengan presentase besar. Semoga ya(hahaha).  Oh ya, andai saja vokalis OK Karaoke kali itu diganti oleh si gadis-vokalis, saya mungkin tidak akan protes :D

Saya sudah lupa dengan band bernama 90% Off dengan si gadis-vokalisnya sampai beberapa waktu lalu saya melihat kicauan di lini-masa twitter saya ada @90percentOFF. Sekedar iseng, saya intiplah akun tersebut, dan ternyata disitu juga ada twitter dari si gadis-vokalis. Singkat cerita, sedikit berbincang dan saya mendapat link download mini album mereka yang berjudul "10% Right". Menarik juga konsepnya namanya. Sebenarnya, ketertarikan saya hanya pada track awal yang mereka bawakan ketika tampil di amphiteather Taman KB, ditambah sedikit harapan akan menemukan lebih banyak musik semacam itu pada mini album tersebut.
Ketika selesai mengunduh, yang saya perhatikan pertama kali adalah judulnya. "Young Cocaine", "Dreams" dan "Much More Knowledge". Tiga buah judul lagu yang terasa sangat anak muda. Tiga track dengan total size 14,9 megabyte, tidak banyak memang, saya berharap tiga lagu ini cukup untuk meraba bagaimana sebenarnya musik mereka.

Front Cover

Front covernya memunculkan seorang lelaki (sepertinya orang asing) dengan baju setelan bahan memakai sunglasses sedang merokok. Dengan background hitam dan olahan-olahan digital masa kini, jujur, saya belum bisa menemukan hubungan antara artwork dan musiknya hingga sekarang. Untuk Back cover tak jauh berbeda, ditambah tumpukan keterangan-keterangan album yang harusnya tidak pada tempatnya (bukankah masih bisa mereka taruh di lembar keterangan berformat .txt atau .pdf dalam paket downloadnya) dan promosi-promosi yang terlalu berlebihan. Dan jika memang artwork yang dimunculkan memiliki makna tersendiri serta bukan cuma sekedar unjuk gigi kemampuan digital, mungkin mereka perlu mencari korelasi yang lebih baik. Ibu saya saja memilihkan baju batik ketika saya akan kondangan (jika anda pikir ini tak nyambung, silahkan ambil gayung dan mandilah).

Back Cover

Tibalah saatnya mini album mereka menjelajah telinga saya. Pada masing-masing lagu, mereka memberikan keterangan genre yang berbeda. Progressive Rock, Power Ballad dan Punk Rock, masing-masing menyemat pada track berbeda. Hal yang jarang saya temukan.
Track pertama berjudul "Young Cocaine" yang mereka beri label Progressive Rock mulai berputar. Ya, inilah satu-satunya lagu yang saya taksir pada perform mereka Taman KB. Kali ini saya bisa mendengarnya secara utuh dan detil dengan perangkat audio kesayangan saya yang jauh lebih baik dibanding soundsystem di amphiteather ketika itu. Pada awalan, suara gitar dan drum terlihat dominan, mengingatkan saya akan Avenged Sevenfold ketika masih garang (jangan bicarakan Dear God, itu hanya racauan kacau yang mereka sajikan khusus untuk remaja-remaja galau masa kini) dan beberapa band metal 90an. Saya memang buta musik metal, tapi untuk beberapa musik kawak, koleksi kaset om saya setidaknya sedikit membantu membedakan mana musik metal berkualitas dan mana musik metal tanpa entitas. Setelah intro, tempo jauh menurun dan suara vokal si gadis muncul, dan lagi-lagi agak datar(mungkin begitukah tipe vokal yang dicari?). Ternyata synth hanya terasa sebagai pengendali nuansa. Sebenarnya yang terasa membuat lebih gelap adalah permainan gitar dan drumnya, terimakasih saya ucapkan karena mereka tak mengumbar suara synth secara berlebihan. Lanjutannya? Teori klasik. Tempo naik-turun, gitar solo (sesekali growl), outro (maaf, pengetahuan teknis saya tentang musik hampir mendekati nol). Pada track ini terasa sekali seolah mereka ingin mengembalikan kejayaan musik metal klasik yang mengumbar teknik gitar diselingi permainan drum yang -bisa dibilang- masa kini. Beruntung suara synth yang dimunculkan cukup efektif dan tak begitu rakus melahap suara gitar yang menjadi pondasi terkuat. Dari segi lirik, jangan lupakan kalau mereka adalah band anak muda. Seperti biasa, yang mereka bicarakan berkisar jatuh, berdiri, problematika klasik, serta optimisme anak muda. Jangan bayangkan anda akan menemukan kata-kata destruktif seperti dalam lagu Master of Puppets. Jika pada lagu tersebut Metallica bermaksud membicarakan "substansi" tanpa menuliskan secara eksplisit pada lirik, sebaliknya 90% OFF menuliskan secara frontal kata-kata "Cocaine" tanpa bermaksud membawa "substansi" sebenarnya. Terlepas dari beberapa suara-suara yang mungkin pernah saya dengar sebelumnya, mendengarkan track ini ibarat saya kembali ke masa SD dimana om saya menikmati secangkir kopi dan rokok di sore hari di temani koleksi kaset-kasetnya, mengusir saya hingga meringsek di pojokan kamar dan sesekali mengangguk-anggukkan kepala sambil bermain Tamiya saya yang berdinamo Cukin. Ngomong-ngomong, dinamo Cukin saya seberisik suara gitar Scott Ian, tapi tak menular.
Track kedua berjudul "Dreams" yang dilabeli Power Ballad. Entah karena psikologis saya terserang lebih dulu oleh label Power Ballad yang mereka cantumkan atau bagaimana, tapi ketika telinga saya mendengar intro lagu ini, pikiran saya langsung ter-flashback dan menuju ke band lawas Semarang, Powerslaves. Setelah muncul gitar akustik dan suara vokal si-gadis, saya tak bisa untuk tak setuju dengan pelabelan genre mereka pada track ini. Sekali lagi mereka berani mengambil genre yang jarang (atau hampir tak pernah) diangkat oleh band-band anak muda Semarang. Sedikit kekinian yang muncul hanyalah dari suara keyboard yang tetap pada porsinya. Tak ada distorsi berlebihan, bahkan ada limpahan bonus berupa biola-biola yang membuatnya semakin terasa renyah di telinga. Kali ini suara vokal si-gadis bertemu dengan jodohnya, walaupun seperti menaiki mesin waktu, karena semakin ke belakang musiknya semakin mendekati masa kini. Nilai minus mungkin hanya ada di lirik yang terlalu straightforward dan penggunaan metafora yang terlalu sederhana untuk sebuah lagu bertemakan cinta. Tapi setidaknya sekali lagi saya sudah diajak naik DeLorean kembali ke tahun 90an. 
Lagu terakhir berjudul "Much More Knowledge". Dari jenis genre yang mereka tuliskan, awalnya saya agak ragu. Punk Rock benar-benar bukan daya jelajah saya. Hanya beberapa lagu Ramones saja yang sedikit bercokol di telinga, itupun karena lagu-lagu tersebut menjadi cetak biru ketika masa SMA. Bahkan Sex Pistols dan The Clash (beruntung Paul Simonon sedikit diluruskan jalannya oleh Damon Albarn ketika bekerjasama di proyek The Good The Bad and The Queen) gagal mengambil atensi saya sedikitpun. Satu-satunya harapan saya adalah mereka membawa kembali saya ke dalam mesin waktu untuk merasakan nuansa punk-rock sebenarnya ciptaan Ramones, sayangnya kemungkinan ini sangat sangat kecil. Dan benar saja, telinga saya langsung risih ketika musiknya berkumandang sejak pertama kali. Musik-musik yang mampu kau temukan di setiap kota di penjuru Indonesia beberapa tahun belakangan. Mungkin lebih cocok disebut pop-punk kekinian dengan bebunyian synth yang terlalu terlampau batas. Yang bisa memberinya embel-embel "rock" mungkin adalah sedikit part-part gitar didalamnya. Baiklah, saya tak akan melanjutkan review lagu terakhir ini. Saya tak akan bilang ini lagu jelek, saya hanya tidak suka tipe lagu seperti ini. Suka dan tidak itu urusan selera, dan telinga orang siapa yang tahu. Keberatan? Tulis versimu sendiri :)

Baiklah, saatnya sampai pada tahap kesimpulan. Dari segi konsep sebenarnya cukup bagus. Kau seperti diajak menjelajah naik mesin waktu. Meludahi Michael Jackson yang berdansa tolol, lalu menyadari hebatnya produk Semarang Powerslaves dibanding nyanyian mengundang gerimis dari Exist yang muncul beberapa tahun kemudian, tapi mendadak diracuni makanan cepat saji masa kini. Saya beri acungan jempol untuk gitaris mereka yang mampu memunculkan nuansa yang kontradiktif pada setiap lagunya. Disamping lagu terakhir yang menyogok telinga serta lirik yang kurang menggigit, artwork album juga dengan sukses membuat mata saya kelilipan. Yaah, walaupun pada akhirnya saya sedikit kesasar pada track terakhir, setidaknya saya tak perlu memanggil Christopher Lloyd untuk menciptakan DeLorean.


Sekali lagi, review-review yang saya munculkan adalah sebuah penilaian subyektif pribadi. Tak ada musik yang jelek, tapi pasti banyak musik yang tak kita sukai. 
Telinga dan selera orang tak ada yang tau. Jika tidak setuju, dibawah terdapat kolom komentar yang masih berfungsi sebagaimana mestinya. Dan jika keberatan, silahkan tulis reviewmu sendiri!



-O.S-
06-10-11 04.44 am.
with Slowdive and Nightwish on the list.

0 komentar:

Posting Komentar


Menata-mata © 2011