Menata-mata Kick My Web!
Menata-mata. Diberdayakan oleh Blogger.

About me

Foto Saya
ollay
hallo, mari bangun, dan menata mata..
Lihat profil lengkapku

Blog

Kamis, 29 September 2011

Japanese Whispers : Bisikan Gagal Harajuku dan Indahnya Menatap Sepatu.

Saya ingin sesekali menuliskan tentang sebuah field report perjalanan musik hidup. 
Ya, saya memang menyukai menonton sebuah konser atau gig musik. 
Bukan, ini semua bukan tentang eksistensi. Ini tentang passion dan mengapresiasi. 
Passion, karena saya menikmati, mencintai dan mendapat hiburan yang sangat berarti ketika menghadiri sebuah konser atau gig musik yang performernya saya sukai. Mengapresiasi, karena saya sudah terlalu banyak membajak. Menghadiri penampilan musik hidup dari musisi adalah salah satu cara saya menghapus dosa. Setidaknya, saya sudah melakukan sesuatu untuk membuatnya tetap berusaha "hidup" melalui karyanya. Ah, sudahlah, saya juga sedang menyusun tulisan tentang argumentasi mendatangi sebuah musik hidup. Secepatnya akan saya posting.

Dan ini lah field report perjalanan saya.


Berawal dari sekitar empat atau lima bulan lalu, seorang teman memberi sebuah referensi band shoegaze dari jepang. Saya memang mempunyai ketertarikan lebih pada band-band dengan genre eksperimental dan semacamnya yang berasal dari jepang. Menurut saya, mereka gila dalam bereksperimen. Totalitas dan seringkali keluar dari paten, tapi tetap menghasilkan sesuatu yang luar biasa berkompeten.
Texas Pandaa namanya. mendengarkan dua albumnya, cukup menyenangkan, dengan vokal wisphering dan gitar yang My Bloody Valentine wanna be. Selisih beberapa bulan kemudian, saya mendapat kabar kalau mereka akan bermain di jogja. Singkat cerita, saya memesan invitationnya dengan segera ketika tau bahwa mereka juga akan bermain dengan Mellon Yellow, sebuah band shoegaze dari Jakarta. Sebuah gig yang amat jarang bisa ditemui di kota saya, Semarang.

Tulisan ini saya copy-paste dari field report saya di forum, jadi maaf agak amburadul :)


Dan sampailah pada hari H. Saya dan teman saya, Joni, akhirnya memutuskan berangkat dengan agak mepet. Berangkat dari semarang sekitar jam 3 kurang, menggunakan motor buluk. Sedikit  deg-degan juga, takut terlambat. Masalahnya saya dan Joni bawa gitar dan ampli, menyetir jadi kurang enak dan tak bisa memacu kecepatan dengan maksimal. (rencana mau maen sekalian tampil setelah texas pandaa, apa daya penonton sudah menyingkir ;p).

Tiba di jogja jam setengah 7, mepet sekali waktunya. Mengembalikan gitar di kosan temen, lalu ngebut mencari venue. Ketika sampai, saya cukup kaget juga. Venue sudah ramai. Keliatan sekali kalau gig kali ini terkoordinasi dengan baik dan panitia berusaha untuk membuat se-segmented mungkin. Untung bendera Slank sudah saya tinggal tinggalkan(oke, that was a joke). Sekedar info saja, invitation sangat terbatas, jumlah penonton dibatasi hanya 200 orang, angka itupun termasuk panitia dan pengisi acara (bahkan ada embel-embel kalimat "tidak ada jebolan" di promosi-promosinya). Setau saya, Common People selaku penyelenggara acara inipun hanya mempromosikannya via dunia maya dan word of mouth. Jadi bisa anda bayangkan seberapa segmentif acara ini.

Masuk ke dalem Lembaga Indonesia Prancis, venue yang sering digunakan juga oleh beberapa komunitas seni dan musik jogja untuk menggelar gig (kalau tidak salah launching album Airport Radio juga disini). Venuenya lumayan menarik, bentuknya semacam mini teather dengan panggung minimalis , background kain hitam dan ada beberapa origami burung digantung didepan panggung. Sesuai dengan temanya, Japanese Whispers. simple, intim dan mengena.

 
Di panggung, Paraparanoid sudah menyapa penonton dan bersiap untuk bermain. Saya langsung mencari tempat duduk ternyaman,  sayangnya saya gagal mendapat spot bagus. Bagian tengah dan depan sudah dipenuhi orang-orang dengan membawa kamera laras panjangnya masing-masing. Terpaksa saya menyingkir ke ujung kanan. Saya duduk memojok memandang paraparanoid yang memulai setlist pertamanya. Saya melirik ke sekeliling, feeling saya mulai kurang enak, dan nantinya akan terbukti seiring perjalanan Japanese Whispers.


Paraparanoid memulai setlistnya. tiga orang didepan panggung. dua buah gitar (akustik dan elektrik), satu glockenspiel serta sebuah laptop di samping kiri, minimalis. Mereka mulai menghidupkan sampling backsoundnya. Suara-suara ambient mulai muncul, suara ombak pantai,  sesekali kicauan burung dan tiupan angin, menentramkan. Tadinya saya berpikir sampling ini digunakan untuk backsound satu lagu saja, ternyata sampling ini menjadi backsound keseluruhan setlist. Tanpa jeda, tanpa usaha korelasi. Bahkan, ketika mereka berusaha untuk berkomunikasi dengan penonton, backsound masih tetap hidup.

Paraparanoid on the stage

Musik ambient, sesekali shoegaze minimalis sangat cocok untuk teaser konser bagi mereka yang tinggal di jogja dan sekitarnya tanpa perlu menempuh perjalanan yang memakan waktu. Tapi bagi saya yang habis menempuh perjalanan bermotor selama lebih dari 3 jam, musik ini menjadi nina bobok yang sangat menghipnotis. Untungnya, ada beberapa lagu yang menggunakan lirik bahasa jepang yang cukup mengganggu telinga saya. Ditambah, sedikit usaha untuk menangkap output sound yang muncul secara searah dan kurang stereo (maaf, pengetahuan saya tentang teknis kurang). Beruntungnya lagi, setlist yang mereka munculkan tak terlalu banyak. dan nama performer selanjutnya membuat mata saya kembali terganjal.


Mellonyellow

Setelah paraparanoid turun dari panggung, Mellon Yellow langsung mempersiapkan penampilan mereka. MC mulai ngoceh tak jelas sambil membagi barang-barang yang membantu terselenggaranya acara.  Beruntunglah beberapa diantaranya, mereka mendapat CD original dari té  dan Mudi on the Sakuban, beberapa band experimental dari Jepang.
Disamping Texas Pandaa, alasan saya jauh-jauh ke jogja adalah karena Mellon Yellow juga. Rasa penasaran akan performa diatas panggungnya mampu membawa saya menempuh perjalanan berjam-jam, dan thanks God, disinilah saya.
Mereka membuka setlist awal dengan beberapa cover version. Saya kurang tau lagu apa saja yang dicover, tapi yang pasti setidaknya ada sebuah track dari Slowdive yang mereka bawakan, saya lupa judulnya (saya cukup suka Slowdive, but not crazy enough :p). Beberapa lagu awal lumayan membuat mata saya benar-benar melek. Walaupun sedikit My Bloody Valentine dan Slowdive wanna be, tapi penampilan mereka pada beberapa lagu awal patut diacungi jempol. Ibarat bangun tidur, kau langsung disajikan secangkir kopi panas di teras rumah menghadap timur di jam 10 pagi.


Setelah lewat 3 atau 4 lagu yang cukup mengagumkan, backing vocal mulai menyingkir ke panggung bagian pinggir, dan mendadak lightning dimatikan total. Praktis tak ada pencahayaan sama sekali, cuma beberapa lampu dari ponsel-ponsel penonton dan sedikit cahaya yang menembus dari luar venue. Seperti masa lalu, tanpa lampu, tanpa ekspektasi.
Tiba tiba suara bassnya menggila. Seolah sedang mencoba apakah alatnya berfungsi dengan maksimal. Sayapun mengira mereka sedang mencoba-coba atau mengecek ulang sound. Dan ternyata suara bass yang menggila tersebut merupakan setlist lagu selanjutnya. Bassnya menyalak dengan galak. Drum semakin intens dengan beat-beat yang membuat adrenalin meningkat. Seolah tak mau kalah, suara gitar ikut berteriak nyalang. Tanpa lightning sama sekali, saya hanya bisa melihat siluet-siluet tak jelas dari para personil yang asik menikmati alatnya masing-masing sambil bergoyang dan menatap sepatu. Cukup cerdas juga band ini, awalnya kita tak berekspektasi sama sekali ketika lightning dimatikan, tapi mereka malah memberi lagu yang paling gahar disini.
Masih di lagu yang sama, setelah sekitar semenit atau dua menit tanpa lightning sama sekali, akhirnya muncullah satu (dan hanya satu-satunya) lightning yang dihidupkan. Lightning menyorot dari bawah ke atas dan berkedip-kedip ironis. Seolah membuat gerakan para personil dipanggung terkesan patah-patah (hampir mirip patah-patah film bokep 3gp), dan mereka dengan sukses membuat saya merinding melihat penampilannya. Sebuah perasaan yang anda dapat ketika melihat sesuatu yang menakjubkan. Mirip ketika saya melihat ending dari film Fight Club dimana Edward Norton berpelukan dengan Elena Bonham Carter diatas gedung dan menyaksikan runtuhnya gedung-gedung lain didepannya.

Mellon Yellow

Harusnya lagu epic seperti ini menjadi setlist paling terakhir, tapi masih ada satu lagu lagi yang cukup bagus, walau belum sebagus lagu sebelumnya. Mungkin karena banyaknya jenis sound yang muncul, feedback sound yang didapatkan juga menjadi cukup baik, tidak seperti feedback sound penampil sebelumnya.



Texas Pandaa

Oke kembali lagi, semuanya memang bergantung dari yang namanya "ekspektasi". Ekspektasi awal saya adalah, mengawang-awang menikmati lagu dan takjub dengan performnya panggung Texas Pandaa yang mungkin cukup epic. Ditambah lagi sebelumnya Mellon Yellow sukses menampilkan perform yang mampu membuat saya merinding. Sayangnya, kenyataan tidak selalu sejalan.

Ketika mc memperbolehkan (bahkan menyuruh) penonton untuk berdiri dan maju merapat ke panggung, kumpulan orang yang duduk nyaman mendadak berburu spot terdepan, termasuk saya yang sudah terjebak ekspektasi awal.
Ketika sudah benar-benar merasa siap, Texas Pandaa mulai menyapa pononton. Saya mencoba memperhatikan mereka satu persatu. Penampilan mereka sedikit mengherankan dan agak kontradiktif. Gitaris Texas Pandaa, Kazu, menggunakan kaos Liverpool (ya, kaos biasa semacam merch sekelas hasil produksi kaskuser, bukan jersey). Mikiko, bassis sekaligus vokalis, terlihat cantik mengenakan baju semacam dress. Asako, vokalis utama sekaligus gitarisnya tampil dengan dandanan yang kental terasa harajukunya. Kemudian yang terakhir, sang drummer Nadehiko menggunakan kaos THE MILO (mereka juga perform di Bandung sepanggung dengan The Milo)!!

Asako

Ekspektasi saya langsung runtuh ketika mereka memainkan lagu pertama, aroma pop jepang terasa sangat kental. Asako dengan model harajukunya bernyanyi dengan japanese pop-ish, goyangan diatas panggung pun khas penyanyi pop jepang. Ditambah lagi output sound terasa kurang enak, bassnya agak mendem, feedback searah dan suara-suaranya kurang bisa stereo (maaf, saya kurang tau istilah2 teknis dalam sound). Beruntung, performer mereka sedikit tertolong dengan perform dari Kazu yang luar biasa! Aroma shoegaze kebanyakan baru muncul pada bagian akhir lagu ketika Kazu mulai mengeksplore gitar dengan semena-mena.

Sempat ada jeda beberapa menit ketika bass dari Mikiko mendapat sedikit problem. Asako dengan kemampuan komunikasinya yang baik dengan penonton langsung mengambil alih atensi. Dia sesekali mencoba bicara dengan bahasa Indonesia menggunakan kamusnya yang agak rancu. Salah satu usahanya yang cukup sukses membuat penonton ger-geran adalah ketika dia berbicara, "dia Mikiko, masih sendiri dan sedang cari calon suami", sambil nunjuk ke bassisnya.

Mikiko

Dan saya ketiban sial juga. Walaupun sudah dirancang sedemikian rupa sehingga acara ini sangat segmented, tp tetap ada juga segerombolan orang yang salah jalur dan agak mengganggu penonton sekitarnya. Lucky me, mereka berada tepat di sebelah kanan saya. Ada beberapa orang yang mencoba enjoy, tp malah membuat saya dan penonton lain terganggu. Ketika opening di entah lagu keberapa, drum mengambil alih atensi, beat-beat bass-drum terasa asik dan cukup dance-able. Segerombolan itu malah tepuk tangan bersama-sama mengikuti beat, merusak kekhusukan orang-orang  Sekitar yang sedang mengangguk-angguk khitmat. Walaupun orang-orang disekitarnya sudah mulai melirik dan bahkan melotot sinis, tapi mereka tetep saja cuek. Bahkan mereka melanjutkan salah-kaprahnya dengan berteriak "oi.. oi.. oi.. oi..." menambah jengkel penonton sekitar.

Seperti biasa, encore adalah kewajiban.
Para personil pura-pura berpamitan dan turun panggung. Kecurigaan akan adanya encore adalah ketika peralatan-peralatan mereka hanya disenderkan di sound, menghasilkan suara noise yang berisik asik. Sayangnya, salah satu kru (mungkin kru dari persewaan soundsystem) malah mendekati gitar dan mengecilkan volume suara yang keluar.
Berselang beberapa menit, mereka muncul lagi untuk membawakan sebuah lagu terakhir.

Secara umum, untuk Texas Pandaa, menurut saya kurang menggigit. Nilai minus ada di asako yang warna vokalnya terlalu popish dan goyangnya terlalu j-pop, tp saya akui skill dia sangat oke. Nilai plus paling besar dari gitaris mereka, Kazu yang skill-full. Dia terkesan sangat autis dengan gitarnya. Saya kurang begitu mengerti soal teknis, tp kata temen saya yang sedikit lebih mengerti, skillnya luar biasa dengan raw dan reverb khas My Bloody Valentine. Sayang sound kurang mendukung, suara vokal terlalu dieksplore dan kurang whispering (ekspektasi berdasarkan album yg saya dengarkan), sehingga feedback dan noise-noise terasa kurang muncul.

Kazu

Overall, Japanese Whispers cukup bagus. Venue yang intim, konsep menarik dan performer yang cocok. Nilai minus hanya muncul pada sound yang agak kurang enak. Bisa dibilang Common People sukses menghadirkan acara yang edukatif dan sangat menghibur. Saya angkat jempol untuk mereka, sangat jarang komunitas yang mampu membuat acara dengan tema dan penonton segmentif, bahkan cenderung eksklusif.  Satu lagi, angkat topi untuk ketepatan waktu yang mereka jalankan.


Dan setelah itu, kopi joss menjadi dopping yang manjur untuk mata saya yang harus dipaksa melek menyusuri jalan jogja-semarang. Peduli setan dengan dingin atau horornya jalan raya, bulu kuduk saya sudah cukup lelah berdiri setelah menyaksikan Mellon Yellow.


*foto oleh : Yoyok (nice pict bro)

6 komentar:

Ark mengatakan...

Halo Ollaya :)
Terimakasih sebelumnya untuk reviewnya, sangat obyektif dan membangun. Saya -katakanlah- project leader dari acara Japanese Whispers. Salam kenal. Saya di sini ingin memberi sedikit feedback dari feedback yang anda buat. Indah bukan kalau bisa saling timbal balik? ;)
Pertama masalah sound memang kami akui kurang maksimal. Hal itu seperti yg pernah kami sampaikan pasca acara melalui twitter, adalah akibat dari intervensi dari pihak venue yg mengeluh suara dari auditorium terdengar sampai kelas dan mengganggu proses belajar-mengajar, sehingga kami terpaksa meng-cut output sound sekitar 30%. Hal ini akan menjadi pertimbangan kami kalau membuat gig noisy lain ke depannya.
Kedua tentang Texas Pandaa. Mereka di album pertama (One Gleam After Shadow -2006) masih kental aroma shoegaze/ dreampop nya. Semenjak album kedua (Days - 2007) mereka memang sudah meninggalkan pakem itu dan lebih suka disebut romantic pop. Kalau kamu mendengarkan album terakhir (Down In The Hole - 2010) mungkin kamu akan berpikir itu adalah J-Pop dengan sedikit ambience. Namun demikian, di Jepang mereka masih termasuk dalam scene shoegazing. Mereka secara personal dan komunal dekat dengan band2 shoegaze Jepang lainnya.
Ada hal unik dari band2 Jepang yg di sana disebut shoegaze. Kalau kamu mendengar shoegaze Jepang seperti Cruyff In The Bedroom, Coaltar of The Deepers, Nanocycle, Plastic Girl In Closet, mereka sangat bermain-main di vokal, hal yang berlawanan dengan pakem shoegaze US dan UK. Perlu membawa ingatan saya ke masa kecil yg penuh anime dan manga untuk bisa mulai menyukai J-shoegaze. Tapi kalau kita mencoba melihat dari sisi lain, hal itu bisa jadi adalah bentuk akulturasi yang sukses mereka lakukan terhadap budaya asing bernama shoegaze tsb.
Hal itu yang kami coba kedepankan melalui acara Japanese Whispers ini, bahwa kita Indonesia juga bisa membuat sound shoegaze milik kita sendiri. Shoegaze memang tumbuh subur di negri ini, tapi apa kita benar2 memilikinya? :)
Terimakasih sekali lagi kami dari Common People ucapkan atas masukannya. Semoga masih berkenan datang ke Japanese Whispers berikutnya. Ketika waktunya tiba, mari kita berbincang dengan sekaleng bir dingin di tangan :)

Salam.

Adityo E Pegrianto mengatakan...

*ceritanya nimbrung* Ahhh, feedback dari Mas Ark benar-benar manis.. indeed. Semanis "sway" sebenarnya, sayangnya Olay malah kurang menikmati (urusan kuping siapa yang tahu :P). Texas Pandaa adalah ciri khas dalam ciri khas J-shoegaze itu sendiri. Maksudnya, sounds yg mereka hasilkan sangat berbeda dari anggota-anggota movement lain yang (mungkin)lebih banyak dikenal dunia, katakanlah Luminous Orange. Sotoy saya menganggap angkatan tua tersebut sangat kental nuansa Ride-nya bahkan Pale Saints pada beberapa lagu, dan memang karakter vokal lah yang kemudian menjaga keJepangannya (Mas Ark lebih piawai dalam menganalisa ini). Dan Texas Pandaa? Secara sadar Olay telah menyebut cirinya, J-pop yang shoegaze, untung mereka punya Kazu. Apapun lah itu, saya yang "aku ki opolah" ini cuma bisa berkomentar: (sekali lagi) urusan kuping siapa yang tahu, Texas Pandaa adalah sesuatu, dan Common People tetap di hatiku. bhihihihik.

ollay mengatakan...

wow, yang bersangkutan langsung nimbrung. terimakasih atas feedbacknya juga :)
untuk kualitas sound, itu sekedar masukan, mungkin kedepan venue yang digunakan lebih diperhatikan, sepertinya Jogja memiliki banyak tempat yang juga menyenangkan dan juga bagus (bukan berarti LIP tidak bagus, cuma waktu itu kurang sesuai). kasihan band-band dari luar Jogja yang jauh-jauh sudah datang jika output kurang maksimal (terlepas dari kesalahan-kesalahan teknis yang mungkin muncul ketika pelaksanaan acara).
kedua, untuk texas pandaa sendiri, itu adalah kesalahan ekspektasi saya. album kedua mereka memang lebih terasa pop daripada album Days, namun saya kurang menyangka jika pada performa panggungnya mereka lebih mengeksplorasi vokal yang terasa sangat pop Jepang. suara-suara whispering benar-benar ditinggalkan. kalau tidak salah mereka juga membawakan lagu sway dan days ketika di Jogja, tapi karakter vokal yang dimunculkan hampir jauh berbeda dibandingkan yang ada di album, suara angel whispering yang saya nantikan tak kunjung tiba. itulah yang membuat saya sedikit kecewa.
untuk nama-nama band jepang yang disebutkan dan akulturasi shoegaze disana, saya malah baru tau dari mas Arkham. saya malah lebih banyak mengeksplore band-band jepang yang bertema eksperimental, bahkan cenderung ke arah post rock(saya cukup iri pada mereka yg mendapat cd te dan mudy on the sakuban, hehe) dan ambient. jika memang akulturasinya seperti itu, sebenarnya itu hal yang patut dicontoh oleh pegiat-pegiat shoegaze dan musik lain ditanah air. jadi musik yang muncul tak melulu terasa US atau UK-ish.
daripada membuat Japanese Whispere lagi (jujur, saya kurang cocok dengan aroma pop atau manga jepang)kenapa tidak dibuat saja Bisikan Indonesia? lebih terasa pribumi dan mengedepankan musisi kita sendiri. seperti yang anda katakan, kita juga bisa membuat sound shoegaze (atau indiepop, atau postrock, segalanya) kita sendiri.
jika memang saya suka dan atau tertarik(ada waktu juga tentunya), pasti saya datang. selama acara yang dibuat adalah suatu bentuk apresiasi, bukan eksistensi atau urusan perut belaka seperti musik pagi hari :D. jujur, saya selalu senang berada di jogja. suasana menyenangkan, kreatif dan selalu hidup.
terimakasih sebesarnya juga saya ucapkan atas komentarnya. komentar-komentar seperti ini yang bisa membuat saya tetap berkarya lewat kata. semoga kalian juga tetap hidup dan mengedukasi lewat musik-musik yang "berisi". ya, semoga bisa kesampaian. tak ada bir dingin, santoso pun jadi :)

oh ya, selamat satu dekade :)

Salam.

ollay mengatakan...

weits, itu mas adit kah. aaaaahhhhhhh *gemes*
ya, kebetulan kuping saya kurang nyantol sama yang berbau manga atau j-pop dit. jadi seperti yang dikatakan tadi, saya terjungkal sama ekspektasi saya sendiri hahahaha
nah itu, untungnya Kazu yang sukses menjaga ritmenya.
ampun kakak, yang sesuatu itu sebenarnya kamu.
kapan2 suguhkan saya segelas santoso. penasaran aku coook. hahaha

ollay mengatakan...

oh ya, saya lupa memberi keterangan di tulisan diatas. tulisan itu sekedar penilaian obyektif saya, dari sudut pandang saya. jadi seperti kata adit, urusan kuping siapa yang tau :)

ollay mengatakan...

edit: maksud saya penilaian subyektif. baru sadar*

Posting Komentar


Menata-mata © 2011