Menata-mata Kick My Web!
Menata-mata. Diberdayakan oleh Blogger.

About me

Foto Saya
ollay
hallo, mari bangun, dan menata mata..
Lihat profil lengkapku

Blog

Senin, 15 Agustus 2011

Semarang Kentara : Sebuah Ode Buat Kota!

Oke, ijinkan saya sedikit mengumpat tentang kota saya sendiri, Semarang. Bandung sudah berulah dengan Keuken-nya, Jember menggigit lewat Jember Fashion Carnaval, bahkan kota tetangga, Solo menggeliat dengan beberapa festival budayanya(maaf kalau beberapa nama festivalnya salah sebut), sementara Semarang? masih begini-begini saja. Kalaupun ada, itu juga berskala kecil tanpa gaung yang membisik. Sebagian besar dicetuskan oleh orang-orang tua, sehingga kemasan yang disajikan pun tampak kurang segar kalau tak boleh dikatakan out-of-date. Mungkin banyak juga yang mempunyai niatan yang benar-benar baik dengan membuat Semarang lebih maju melalui festival-festival tersebut, tapi banyak juga yang masih ego-sentris dengan tujuan memajukan brand, produk atau perusahaannya sendiri, sehingga cakupan yang didapat masih sempit. Jika ditanya siapa yang bertanggung jawab, mungkin saya ga berani menuliskan, karena saya, kamu, kita, mereka pasti juga termasuk didalamnya. Memang lebih asik menjawab pertanyaan "bagaimana" daripada "kenapa", tapi tanpa "kenapa" kita juga susah untuk merumuskan mau "bagaimana".
Jadi, kenapa tidak kita bagaimana?

Festival Keuken : Makan, Minum dan Senang-Senang!


Yang pertama, perihal "kenapa". Saya yakin teman-teman anak muda (ya, saya masih muda, dan selalu :p) di Semarang pasti punya tingkat kreatifitas yang tinggi, jadi mari kesampingkan masalah kapasitas. Selanjutnya, mungkin teman-teman akan menyalahkan fasilitas. Mungkin hampir tepat, tapi kurang. Kalau 3 tahun lalu kita berkata demikian, mungkin sepadan. Kita berada di tahun 2011, yang artinya sudah setahun kita lepas dari belenggu kerajaan SKW. Mantan walikota kita yang lalu memang lebih doyan memfasilitasi pengusaha-pengusaha besar dengan kapita mayor, juga hobi membuat gambar tempel ukuran besar yang berdiri pongah di pusat kota. Tapi (thanks God) berakhir sudah masa abdi beliau, Semarang akhir-akhir ini mulai berbenah. Proyek-proyek besar yang bertujuan membangun juga mulai lebih multifungsi dengan menjadikannya sebagai public-space. Mari kesampingkan masalah tersedotnya sebagian besar APBD Jawa Tengah yang mengakibatkan berkurangnya porsi untuk kota-kota lain, atau tentang lempar-lemparan proyek sekian M yang jatuh ke si A atau si B (bagi saya, asal pemerintah rajin membangun, saya sedikit persetan dengan angka korupsi). Setidaknya, kali ini kita mulai sedikit demi sedikit memiliki fasilitas publik yang bisa digunakan sebagai sarana-apa-saja. Trotoar Jalan Pahlawan yang sudah dibenahi dan bebas dari pedagang kaki lima, Taman KB berwajah baru dengan berbagai fungsi yang bisa digunakan oleh anak kecil, pemuda-pemudi, orang dewasa bahkan orang tua, adalah beberapa public-space yang mulai sedikit menggeliat. Saya ingat beberapa bulan lalu ketika Taman KB barusan dioperasi plastik. Amphitheater dibagian barat taman digunakan sebagai tempat menggelar acara musik, walaupun tak sempurna tapi intim dan menarik. Sementara itu di bagian utara, komunitas skateboard asik menjajal skatepark yang juga baru jadi. Bagi yang sekedar ingin duduk ngobrol-ngobrol dengan pacar, teman, saudara atau orang tua, bagian timur dan selatan masih menyimpan tempat yang juga sangat bersahabat. Lapar? Menyingkir sedikit ke trotoar, tahu gimbal dan es campur punya kemampuan cukup handal untuk membuat badan kembali segar. Seni dan humaniora membaur membentuk sebuah metafora yang nyata.


TUNGGU SEBENTAR, jangan terburu-buru senang, saya sudah bilang, itu beberapa bulan yang lalu. Kreatifitas dan fasilitas tak bisa disalahkan untuk menjawab "kenapa". Jika boleh berhipotesa, saya ingin menyalahkan "konsistensi", "ego", serta "norma dan lingkungan social-circle" itu sendiri. Konsistensi adalah salah satu syarat mutlak sebuah perubahan dan keberhasilan (maaf saking banyaknya yang mengutip, saya lupa siapa pionir statement ini). Jika ingin membuat "Semarang Setara", atau bahkan membuat "Semarang Kentara", nampaknya kita membutuhkan individu-individu dan komunitas-komunitas yang solid dan konsisten mengusung tujuan bersama. Sayangnya, konsistensi adalah harga yang mahal di kota tercinta kita ini. Kita terlalu mudah terbuai dengan one-hit-wonder baru. Vespa booming, semua beli vespa, semua naik vespa, dan harga menggila. Fixie booming, semua beli fixie, semua naik fixie, semua anak fixie, yang lain go to hell! Maicih merajalela, semua mencoba, semua menggilai, yang lain kelaut saja! Ya tak ada salahnya memang, tapi kenapa tak mencoba untuk menjadikan sesuatu yang baru tetap awet, kemudian menjadi klasik, lalu jadilah trademark? Kita butuh TRADEMARK!
Ketika muncul one-hit-wonder, bukannya kita bekerjasama untuk menjadikannya sebagai Trademark, tapi malah menjadikannya sebagai kompetisi untuk mendapatkan reputasi. Inikah "ego"? Ya, mungkin. Kreatifitas kita ditekan sedemikian rupa, pemanfaatannya untuk pencapaian reputasi individu pribadi. Ketika salah satu mencoba mendobrak paten, sinisme meningkat. Kita takut merusak persepsi umum (baca: persepsi lingkungan sekitar). Outputnya? (Maaf jika ada yang tersindir, saya bukan mau menggurui, tapi sekedar mengungkap fakta) Manusia-manusia gila pembuktian diri. Yang lebih parah, manusia-manusia egois.

Cukuplah mengupas tentang "kenapa". Bisa saja kita menyalahkan konsistensi, ego, norma dan social-circle, tapi tak akan merubah apa-apa. Sekali-sekali bolehlah kita pakai kambing hitam. Baiklah, kita tidak salah, saya lebih suka menjadikan mantan walikota yang tidak menyediakan fasilitas publik sebagai kambing hitam (atau, kambing putih?) ketidak-kreatif-an dan tidak adanya trademark yang membuat Semarang Kentara, Saatnya kita berbincang tentang "bagaimana"..





Membicarakan perihal "bagaimana", tak ubahnya membuat suatu wacana dan berbincang tentang bla-bla-bla. Tak apa lah, setidaknya kita berusaha dan mencoba. Seperti yang kita bahas tadi, kota kita ini kurang mempunyai Trademark dan cenderung terkungkung dengan sesuatu yang booming sesaat. Sudah saatnya kita membuat sesuatu yang baru dan mendobrak paten. Salah seorang teman pernah berkata,

"Jika saya membuat creative consultant di Semarang, mungkin saya bisa jadi kaya raya."

Ya, saya tidak memungkiri hal tersebut, saya percaya dia mempunyai kapasitas kreatif yang luar biasa. Dan banyak dari kita juga mempunyai kemampuan serupa. Permasalahannya adalah,
apakah kita berani?
Apakah kita bisa konsisten?

Baiklah, anggap saja kita sudah sampai di tahap mau dan mampu membuat sesuatu yang baru, lalu apa? Sekali lagi, permasalahan kita adalah "ego". Sebuah pencapaian reputasi pribadi adalah kebutuhan, tapi sampai batasan seberapakah pemenuhan kebutuhan kita? Kita membicarakan antara individualisme dan kepentingan kelompok, suatu permasalahan klasik yang sudah diajarkan semenjak kita SD di pelajaran kewarganegaraan. Jika kita sudah memenuhi kebutuhan pribadi, apa salahnya kita coba menjangkau sedikit lebih tinggi? Ya, saya membicarakan tentang kepentingan kelompok, which is kepentingan dan kebutuhan kota kita Semarang. Jujur, saya bingung jika ditanya oleh teman dari luar kota tentang apa yang bisa didapat jika berkunjung ke kota Semarang. Jawaban klasik saya adalah, Kota Lama, Lawang Sewu dan Loenpia. Jika dia tanya apa lagi, saya mulai bingung. Dan sampai pada tahap ini, teman-teman dari luar kota lebih memilih Jogja sebagai kota tujuan wisata, walaupun mereka sudah sering mengunjunginya. Saya yakin kalian juga pernah mengalami hal ini. Jogja memang memiliki daya pikat yang luar biasa, tak bisa dipungkiri. Tapi jika kita memiliki sesuatu yang sedikit menggoda, seperti Keuken-nya Bandung atau Jember Fashion Carnival, mungkin teman-teman dari kota lain lebih berminat untuk mengunjungi Semarang.

Bukannya tidak mau atau tidak mampu, tapi siapkah kita sejenak menyingkirkan ego pribadi kemudian saling bahu-membahu memajukan kota kita? Sesekali menyingkirkan subjek "saya" atau "kelompok saya" dan beralih ke penggunaan subjek "kita" mungkin bisa membuat segalanya lebih baik. Fasilitas, kita mulai dimanjakan dengan pembangunan disana-sini. Kreatifitas, saya yakin banyak individu-individu dengan kapasitas yang luar biasa.
Kamu mau?
Kalian mau?
Kita mau?

Baiklah, anggap saja sekarang problematika tentang "ego" telah mampu terpecahkan, semua mau berperan dan berkontribusi untuk kota kita. Lalu apa langkah selanjutnya? Menurut saya, mungkin memunculkan lagi kreatifitas dan sedikit menyingkirkan norma. Ya, kalian tidak salah baca, saya menuliskan norma. Seperti kita ketahui, kreatifitas adalah tentang otak kanan, hal yang tidak realistis. Banyak pengusaha yang sukses dengan berbekal kreatifitas, mendobrak paten. Mereka menggunakan cara-cara kreatif yang tidak biasa. Dan seperti cerita drama, mereka mendapat tekanan sana-sini pada awalnya karena caranya tersebut. Sayangnya norma disekitar kota kita ini adalah terlalu memperdulikan "persepsi". Semua harus sesuai persepsi umum, jika tidak maka kamu akan dicap "aneh". Jika memang mau mencoba menghasilkan sesuatu yang kreatif, kita harus siap dianggap aneh, dan juga menghargai orang yang aneh.

Jadi mari ciptakan sesuatu yang berarti demi kemajuan kota kita. Singkirkan persepsi yang merusak deskripsi. Kita ciptakan wujud kreatifitas tersendiri yang bukan cuma membuat Semarang Setara, tapi juga Semarang Kentara!
Bisakah?



*note: Tulisan awal saya tentang Semarang. Insya Allah akan ada tulisan selanjutnya jika menuai respon positif
14/08/11 at 03.13 a.m with Milky Way from OK Karaoke on whispering

5 komentar:

Anonim mengatakan...

apa bisa?
sy orang semarang juga dan menurut sy kebanyakan orang semarang adalah tipe followers. jarang dr mereka yg berniat menjadi trendsetter.
benar kata anda, mereka menyukai one-hit-wonder.
sy agak skeptis, tp sy selalu mendukung.

ollay mengatakan...

ya, disitulah susahnya. terbiasa menjadi followers. tapi sebenarnya masalah paling vitalnya adalah konsistensi. lihat saja Critical Mass Ride yang dulunya ramai, sekarang sudah menyusut signifikan. mungkin jika sudah mulai ada terobosan2 baru, para pengusung harus inovatif. sering membuat inovasi2 baru agar masyarakat Semarang yang hobi "bosan" tetap konsisten. semoga bisa :)

ollay mengatakan...

sedikit tambahan..
Eq Puradiredja, direktur program Java Festival Production, penyelenggara festival-festival terbesar di Indonesia pernah berkat : "“Apa gunanya membuat sebuah festival besar kalau konsistensinya tidak bisa dijaga?”.
sebuah tulisan tentang kekonsistenan sebuh festival bisa dicek di http://www.jakartabeat.net/musik/kanal-musik/ulasan/395-java-rockin-land-sejarah-jakarta.html

Felix Dass, kontributor Jakartabeat juga menambahkan, "Lihat keluar negeri. Lihat ke arah barat. Kita mengenal Glastonbury di Inggris, Fujirock dan Summersonic di Jepang, Busan Valley di Korea Selatan, Lollapalooza di Amerika Serikat, dan yang dekat, Singfest di Singapura. Semua nama di atas bisa dikenal karena mereka konsisten. Musik adalah perayaan dan festival adalah rumah ibadah tempat perayaan itu dilangsungkan."

itu cuma dalam segi yang lebih segmentif, yaitu musik. sebenarnya bisa kita terapkan lagi ke sisi yang lebih global bukan?

intinya adalah KONSISTENSI, bukan eksistensi :)

Anonim mengatakan...

berarti yang bertanggung jawab si pembuat? lalu setelah dia sudah susah2 berinovasi sedemikian rupa tapi hasilnya sama saja bagaimana?
terima kasih sudah memberikan referensi, cukup menggugah. seperti anda bilang tadi contohnya cukup segmentif, tapi global. Java Rocking Land adalah festival musik rock. dia mengangkat sesuatu yang pop. bagaimana dengan semarang?

ollay mengatakan...

wah maaf teman, saya kemaren sedang hiatus, ternyata dibalas lagi. terimakasih :)
bukan, itu jadi tanggung jawab kita bersama.
seperti yg anda katakan, JRL sekarang emang mengunggah sesuatu yang pop. itu SEKARANG. di indonesia, apakah rock itu sesuatu yang pop? silahkan liat sendiri di acara musik televisi pagi hari. tapi melalui konsistensi mereka mampu mengubah sesuatu yang belum pop menjadi budaya pop. sekali lagi, konsistensi berbicara kan.. :)

Posting Komentar


Menata-mata © 2011