Menata-mata Kick My Web!
Menata-mata. Diberdayakan oleh Blogger.

About me

Foto Saya
ollay
hallo, mari bangun, dan menata mata..
Lihat profil lengkapku

Blog

Sabtu, 26 Februari 2011

Wisata Pijat Trotoar

Malam itu cuaca semarang cukup cerah, tak ada genangan-genangan air yang biasanya memancing gerutu para pengguna sepeda motor. Jalan pemuda yang merupakan perpaduan antara membarunya bangunan masa lalu dan menuanya bangunan masa kini masih terlihat bernafas. Jalanan masih ramai ketika waktu menunjukan setengah 10 malam. saya mulai menyusuri jalan pemuda ke arah pasar johar. Kerumunan teramai berada di depan sebuah supermarket menua, puluhan sepeda motor itu bukan berebut untuk parkir. mereka hanya menjemput, entah itu istri, pacar, keluarga ataupun kerabat yang bekerja di pusat konsumerisme yang pernah menjadi primadona kota ini 2dekade lalu. Saya tak menemukan kumpulan lain yang semasif sebelumnya, hanya para pedagang kaki lima yang menggelar lapaknya menutupi trotoar. Saya berfikir ulang, sebenarnya untuk apa dan siapa trotoar itu dibuat. Melanjutkan perjalanan, beberapa puluh meter kemudian akhirnya saya sampai di tempat tujuan. puluhan orang menggelar tikar berjejer, mungkin hanya berjarak 5-10 meter tiap lapak. tak ada barang dagangan diatas tikar mereka, yang menyamakan mereka adalah sebuah kain spanduk biru berukuran 1x1meter dan memiliki pola tulisan hampir sama, hanya "brand" mereka saja yang berbeda. Saya mencoba mendatangi salah seorang penjaja jasa tersebut. Di spanduk biru miliknya ada tulisan melingkar "Pijat Refleksi Capek KUSUMA WIJAYA. Insya Allah menyembuhkan anda". Ya, saya mendatangi pusat pijat reflexi tradisional yang berada di pinggir jalan. Jika anda membayangkan pijat reflexi selalu di tempat tertutup dengan servis dan fasilitas yg hampir lengkap, sebaiknya anda perlu menilik sisi lain yang satu ini.
Pria paruh baya yang kami hampiri itu saya duga bukan asli semarang, senyum ramahnya nampak tulus khas orang pedesaan.
Tak banyak basa-basi, senyumnya mengisyaratkan ucapan selamat datang. "monggo pinarak, dicopot rumiyin klambine mas(silahkan, dilepas dulu bajunya mas)", ucapnya. Keramahannya tulus, sangat jauh berbeda dengan keramahan semu khas minimarket. Saya mengintip tetangga-tetangga sebelah yang sedang asyik menikmati pijatan dengan hanya berbalut sarung. Seolah mahfum atau mungkin tak peduli, para pengguna jalan tetap melenggang asik seakan kami adalah manekin-manekin toko dini hari. Setelah melepas seluruh pakaian dan hanya menggunakan sarung sebagai atribut satu-satunya, saya mulai merebahkan diri. Kerasnya trotoar berhasil diredam oleh tikar dan beberapa sobekan sarung, bahkan sebuah bantal yang empuk melengkapi dipan dadakan pinggir jalan saya kali ini.
Namanya Pak Warso, dia sudah tiga tahun menekuni pekerjaan sebagai tukang pijat refleksi pinggir jalan. Berasal dari Demak, dia memulai karirnya empat tahun lalu. Bermula dari ajakan seorang teman yang membutuhkan partner untuk praktek pijat refleksi di daerah Kedung Mundu, Pak Warso mempelajari seni memijat secara otodidak. "awalnya cuma sekedar bisa mas, setelah ikut teman dan belajar selama setahun, baru saya berani buka sendiri disini", ujarnya sembari menyiapkan peralatan pijatnya. Saya menunda pembicaraan ketika dia mulai mengurut jari-jari kaki. Kaki saya dimanjakan oleh tangannya yang terampil memijat, sesekali dia menggunakan sebuah alat dari kayu untuk menekan-nekan telapak kaki. Usai kaki, giliran punggung saya beradu dengan tangannya. Beberapa bagian badan yang tadinya kaku sekarang jadi lebih rileks. Sementara seluruh badan mencoba ditenangkan oleh Pak Warso, mata saya mencari ketenangannya sendiri dengan mengamati kegiatan malam jalan Pemuda. Kelamaan dimanjakan, mata saya mengantuk juga. Beruntung ada seorang ibu penjual minuman keliling yang menawarkan dagangannya. Saya memesan dua gelas jahe panas. Kebetulan Pak Warso menyuruh saya duduk untuk memudahkannya memijat tangan saya. Boleh dibilang inilah momen terbaik saya selama beberapa hari terakhir, menikmati jahe panas sementara tangan saya dimanjakan dengan pijatan terampil dan mata saya menangkap kota Semarang yang bernafas di malam hari.
Tak terasa sekitar satu setengah jam saya sudah berkutat dengan minyak urut "Dragon" di seluruh badan. Berakhirlah sudah periode zona nyaman saya malam ini. Saya memakai kembali pakaian dengan ogah-ogahan. Secara umum, badan saya lemas dan tulang terasa meregang ke jarak maksimal. Meskipun begitu, ada perasaan rileks di seluruh penjuru badan yang susah diungkapkan kata-kata. Saya kemudian menyempatkan diri untuk berbincang sekejap dengan Pak Warso.
Beliau mulai sedikit curcol (curhat colongan) tentang keeksisan pijat refleksi jalan pemuda yang terancam ketika rezim Sukawi Sutarip. "Dulu waktu jaman Pak Kawi, kita tiap bulan setor 30-50(ribu rupiah) ke satpol PP. Tapi kadang kita tetep kena operasi. Sekarang udah ganti walikota agak mendingan mas. Sudah ga ada retribusi sama sekali, razia satpol PP juga ga pernah.", ujarnya. Setelah beberapa pancingan-pancingan kecil, akhirnya saya bisa mendapat informasi tentang pendapatan beliau. Tak main-main, take home pay (jika boleh dikatakan demikian) Pak Warso hampir menyamai gaji PNS. Bedanya, Pak Warso tak perlu melakukan kunjungan-kunjungan fiktif untuk meningkatkan pendapatannya. Dengan bersenjatakan tikar, sarung dan minyak urut cap Dragon, Pak Warso mampu menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi.
Saya berpamitan ketika ada seorang Bapak paruh baya yang ternyata pelanggan lama Pak Warso datang. Perlahan saya menyusuri lagi Jalan Pemuda dengan tetap menoleh kanan dan kiri. Hampir semua lapak pijat disambangi pelanggan.
Dengan sedikit kemasan yang menarik saya yakin lapak-lapak pijat ini bisa menghasilkan daya tarik tersendiri tanpa perlu menggunakan kalimat iklan manipulatif bak provider-provider di Indonesia. Bagi wisatawan pun berpijat di trotoar jalan menyajikan sensasi yang berbeda. Dengan 40 ribu rupiah kita bisa menikmati pijatan Pak Warso atau pemijat-pemijat lain sembari menangkap suasana Semarang di malam hari. Tenang, sudah tak ada lagi razia satpol PP yang meresahkan.

Menata-mata © 2011